Selasa, 07 April 2009

Kesederhanaan Seorang Muhammad Natsir (1)



Eramuslim, Jumat, 03/04/2009 07:46 WIB



Indonesianis George McTurman Kahin pada tahun 1948 tengah berada di Yogyakarta, Ibukota Republik yang masih muda. Satu hari dia diundang datang dalam suatu acara yang dihadiri para pejabat negara. Setibanya di tempat acara, Kahin menyalami satu demi satu para pejabat yang ada. Tibalah Kahin pada seorang lelaki berusia 40 tahun yang berwajah teduh dan berkacamata bulat, dia memakai baju dan pantalon dari bahan yang amat murah dengan potongan yang amat sederhana. Ketika diperkenalkan bahwa lelaki tersebut adalah seorang Menteri Penerangan RI, Kahin terkejut. Dia sama sekali tidak menyangka, lelaki yang kelak dikenalnya dengan nama Muhamad Natsir itu ternyata sangatlah bersahaya, tidak ada beda dengan rakyat kebanyakan. Apalagi dirinya mendengar jika baju itu merupakan satu-satunya baju yang dianggap pantas untuk acara-acara resmi.

Kahin mengenang, "Saya dengar, beberapa pekan kemudian, para anak buahnya di Kementerian Penerangan berpatungan membelikan Pak Menteri Natsir sehelai baju yang lebih pantas. Setelah baju itu dipakai Pak Menteri Natsir, para anak buahnya berkata, 'Nah ini baru kelihatan menteri betulan'."

Kesederhanaan merupakan prinsip hidup seorang Muhammad Natsir. Prinsip ini terus dipegangnya sejak kecil hingga menjadi pejabat negara. Dan kemudian memang terbukti, kesederhanaan inilah yang akhirnya menjadikan kekuatannya, menjadikan harga diri dan martabatnya sedemikian tinggi, dan semua orang dari berbagai kalangan menghormatinya.

Ulama Akherat dan Ulama Dunia

Kata "ulama" berasal dari bahasa Arab dan semula berbentuk jamak dari kata 'alim, yang memiliki arti orang yang memiliki ilmu atau orang yang pandai. Imam Al-Ghazali membagi pengertian "ulama" ke dalam dua kelompok besar: Ulama Dunia dan Ulama Akherat. Ghazali dan para muhaqqiq, sepakat menyebut Ulama Dunia sebagai Ulama sû'.

Berbeda dengan Ulama Akhirat, Ulama Dunia atau Ulama sû' ini adalah mereka yang menggunakan ilmunya bukan lillahi ta'ala, melainkan menggunakan ilmunya dan juga pengaruhnya untuk mencari kedudukan di mata umat, mencari jabatan duniawi, mengumpulkan kekayaan dunia, atau hanya mencari popularitas dan sebagainya. Ulama jenis ini adalah ulama yang lebih mencintai dunia ketimbang akherat, dan salah satu ciri yang utama adalah mereka ini lebih merasa nyaman bila berada dekat dengan penguasa ketimbang berdekatan dengan orang banyak. Untuk mencapai ambisi duniawinya, ulama dunia tidak segan-segan memanfaatkan istilah-istilah syariat atau pun memperalat hukum agama, untuk menipu umat—dan juga menipu dirinya sendiri—agar kelihatan seolah-olah apa yang diperbuatnya adalah halal.

Ulama dunia memiliki banyak harta dan sedikit menghasilkan kitab-kitab yang bermutu. Ulama dunia lebih sigap dalam melayani penguasa ketimbang melayani umatnya. Fatwa-fatwanya bersifat sementara dan sangat bercorak kekuasaan, sebab itu hampir seluruh fatwanya tidak menyentuh mata batin umatnya.

Bagaimana dengan Ulama Akherat? Ulama jenis ini adalah ulama pengikut para nabi. Waratsah al-anbiya'. Mereka berani menyampaikan yang haq itu haq dan yang bathil itu bathil, tanpa membedakan apakah itu disampaikan kepada rakyat biasa atau kepada penguasa. Ulama akherat tidak menyukai memutar-mutar lidah di hadapan penguasa. Banyak ulama jenis ini, karena membela dan menegakkan al-haq, mendapat fitnah dan cobaan berat, bahkan nyawa pun menjadi taruhannya. Ulama Akherat lebih menyukai berada di tengah-tengah umat ketimbang berada di tengah-tengah penguasa. Ulama Akherat lebih nyaman mengatur strategi dakwah dari masjid, bukan dari hotel atau pun gedung mewah. Ulama akherat banyak menghasilkan kitab dan menghindari kepemilikan harta dunia. Jika pun memiliki banyak harta dunia, maka dia segera menyumbangkannya untuk orang-orang yang tidak mampu, sebagaimana Rasulullah SAW yang walau memiliki banyak harta dari hasil perniagaannya namun semuanya disumbangkan kepada kaum miskin, sedang dia sendiri hidup dalam kesederhanaan. Sangat banyak hadits yang meriwayatkan kesederhanaan, bahkan kemiskinan, beliau.

KH. Didin Hafidhudin (Republika, 7/8/08) menulis, "Salah satu faktor yang menyebabkan runtuhnya nilai-nilai perjuangan dalam dunia politik adalah saat materi menjadi tujuan utama dan gaya serta penampilan lebih diutamakan." Banyak orang-orang yang awalnya lurus menjadi bengkok bahkan patah saat mendapat cobaan harta seperti ini. Sebab itu, Thufail al Ghifari, seorang munsyid, berkata, "Selamatkan dakwah, selamatkan dakwah, selamatkan dakwah kita! Apa artinya sebuah kekuasaan jika kita telah menggadai keimanan dan aqidah kita?"

Dengan tegas, Dr. Daud Rasyid menyatakan bahayanya harta dunia dalam artikelnya berjudul 'Fitnah Harta' : "Kalau ada orang menceritakan dirinya mendambakan punya rumah mewah, kendaraan mewah, atau apa saja yang menyenangkan dari dunia, sebenarnya dia sedang menceritakan kenaifan dirinya, sekaligus menyingkap keruntuhan ma'nawiyah (jati diri)nya di hadapan orang lain... apakah pantas seorang pemimpin merangsang anggotanya untuk mengejar harta, sementara Nabi SAW menyuruh umatnya agar berhati-hati dengan harta dan dunia? Orang-orang mukmin tak perlu diajari mencintai harta. Ajaran itu justru adalah ajaran syetan. Hanya syetan yang mengajarkan cinta harta. Yang perlu diajarkan kepada orang-orang mukmin, agar tetap tabah menghadapi rintangan dalam perjuangan."

Pemahaman Islam yang lurus dan benar sangat dipahami oleh para ulama bangsa ini terdahulu. Sebab itulah, orang-orang seperti Muhammad Natsir, Haji Rasul, KH. Zainal Mustofa, KH. Isa Anshary, dan sebagainya senantiasa menjaga kebersihan hati dan akidahnya dengan memalingkan wajahnya dari godaan harta dunia dan berkosentrasi mendidik umat dengan ilmu yang benar.

Sosok ulama-ulama akherat seperti Muhammad Natsir merupakan tokoh yang amat langka di "zaman edan" seperti ini. Sebab itu, dalam serial tulisan ini, Eramuslim akan memaparkan riwayat hidup dan kisah-kisah kesederhanaan seorang Muhammad Natsir, dan juga ulama-ulama akherat kita lainnya, agar kita semua bisa belajar dan meneladani sikap hidup mereka. Sekaligus bisa menghindari tipuan-tipuan yang tengah dilancarkan oleh ulama-ulama dunia. Taqlid, Tsiqoh, dan Thoat hanyalah kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, dan kepada ulama akherat, bukan kepada ulama dunia. Semoga kita tidak tertipu. Amien. (Bersambung/rd)

Partai Allah vs Partai Setan Dalam Al-Qur'an



Era Muslim, Selasa, 07/04/2009 09:46 WIB


Hiruk pikuk kampanye puluhan partai peserta Pemilu legislatif 2009 sudah berakhir. Tak kurang dari 200 trilyun rupiah sudah dihamburkan. Berbagai acara untuk menarik dan merayu para calon pemilih sudah pula dilakukan.

Hiruk pikuk kampanye puluhan partai peserta Pemilu legislatif 2009 sudah berakhir. Tak kurang dari 200 trilityun rupiah sudah dihamburkan. Berbagai acara untuk menarik dan merayu para calon pemilih sudah pula di lakukan.

Sejak dari pemasangan jutaan spanduk, kaos, brosur, baliho, iklan media cetak dan elektronik dan bahkan menampilkan penyanyi-penyanyi wanita erotis setengah telanjang di hadapan ribuan simpatisan. Seakan semua cara sudah dihalalkan.

Yang lebih ironis lagi, partai-partai yang berbau Islampun tak terlepas dari acara hura-hura dan maksiat itu. Hampir tidak ada partai yang tidak menampilkan musik dangdut atau grup band dalam acara kampanye, khususnya kampanye terbuka, termasuk partai yang menamakan dirinya partai dakwah sekalipun.

Dalam peristiwa Pemilu 2009 kali ini yang mereka namakan dengan Pesta Demokrasi, sebanyak 1.624.324 caleg untuk DPR, DPD, Provinsi dan Kabupaten/Kota bersaing merebutkan 18.480 kursi yang tersedia. Artinya, hanya 1.13 % dari mereka yang akan menjadi anggota legislatif periode 2009 – 2014. Sisanya, 98,87 % atau sekitar 1.605.844 orang dipastikan gagal menduduki kursi-kursi empuk tersebut.

Melihat dahsyatnya persaingan di antara mereka dan besarnya jumlah dana yang telah mereka habiskan dan bahkan ada yang menjual rumah dan sebagainya, ditambah lagi dengan besarnya gejolak syahwat kekuasaan yang mendorong sebagaian besar mereka untuk menduduki kursi Dewan, maka berdasarkan nasehat para ahli jiwa, berbagai RS Jiwa telah menyiapkan diri untuk menerima limpahan pasien pasca Pemilu 2009 pada 9 April yang akan datang. Jika prediksi para ahli jiwa tersebut benar-benar terjadi, barangkali ini adalah peristiwa korban demokrasi pertama di dunia yang paling besar.

Sebelum acara pesta demokrasi (maksiat) tersebut dimulai, umat Islam Indonesia dihebohkan pula oleh fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI) terkait haramnya golput (golongan putih alias tidak ikut pemilu). Fatwa tersebut juga telah menimbulkan prokontra di kalangan umat Islam Indonesia. Semoga prokontra tersebut tidak menambah perpecahan dalam tubuh umat Islam yang sudah terpecah belah menjadi berbagai kelompok (jamaah), aliran dan partai sejak lebih dari 50 tahun lalu.

Tulisan ini tidak fokus mengomentari Pemilu dan fatwa MUI tersebut. Namun akan membahas sebuah tema yang lebih besar dan lebih fundamental dari masalah Pemilu dan fatwa MUI itu, yakni masalah Partai dan hal-hal yang terkait dengannya. Pemilu hanya salah satu aktivitas utama sebuah partai. Tanpa partai-partai Pemilu dalam pengertian di atas tidak akan ada. Pemilu itu hanya sebuah aksi atau aktivitas yang dilakukan oleh partai-partai. Sama halnya dengan shalat jamaah, kalau bisa dimisalkan. Shalat jamaah adalah sebuah aktivitas yang dilakukan oleh para pelakunya di sebuah tempat bernama masjid, mushalla, atau tempat lainnya.

Membahas masalah shalat berjamaah tidak banyak manfaatnya jika sebelumnya tidak membahas masalah tempat shalatnya dan para jamaah yang melaksanakannya. Sebab, bagaimanapun ramai dan khusyuknya shalat jamaah jika tempat shalatnya tidak suci dari najis dan para jamaah yang shalat tidak suci dari hadats dan najis serta tidak menghadap kiblat, tidak menutup aurat dan sebagainya maka shalat jamaah tersebut tidak akan bernilai di mata Allah. Sebab itu, mendiskusikan masalah partai jauh lebih penting dan lebih utama sebelum membahas masalah Pemilu itu sendiri.

Manhaj Tafkir Islami

Dalam Manhaj Tafkir Islami (Metodologi Berfikir Islam), bahwa setiap amal perbuatan yang baik, betapapun besar nilainya, seperti rukun Islam yang lima dan Jihad fi sabilillah dan betapapun besar peranannya dalam kehidupan, seperti pemerintahan dan kepemimpinan, ia harus memenuhi syarat dan rukunnya. Para ulama Fiqih (Hukum Islam) mendefinisikan syarat ialah sesuatu yang menjadikan suatu perbuatan/amal itu sah, tapi ia (sayarat) itu bukan bagian dari perbuatan tersebut. Wudhuk misalnya, ia bukan bagian dari shalat, akan tetapi tanpa wudhuk, shalat tidak akan sah. Adapun rukun ialah, tanpa ia suatu perbuatan itu tidak sah, sedangkan rukun itu bagian dari perbuatan itu sendirinya. Rukuk misalnya, ia adalah rukun shalat dan sekaligus rukuk itu bagian dari shalat itu sendiri. Hal tersebut juga berlaku bagi sebuah aktivitas yang benama Pemilu yang dilaksanakan atau diikuti oleh suatu partai dan para anggotanya.

Bagi seorang Muslim, apapun bentuk aktivitas dan amal perbuatannya harus dilandasi oleh cara pandang Islam atau dengan kata lain, haruslah sesuai dengan konsep Islam. Untuk menilai sesuatu itu sesuai atau tidak dengan konsep Islam, maka metodologi Islam terkait ketentuan syarat dan rukun harus diterapkan. Syarat dan rukun itu harus pula mengacu kepada sumber utama ajaran Islam, yakni Al-Qu’an, dan Sunnah Rasul Saw. Kalau tidak, hanya akan menjadi amal perbuatan yang laghwi (sia-sia), dan bahkan bisa menjadi maksiat (dosa) yang akan menyebabkan pelakunya masuk neraka, jika dia menyandarkan sesuatu amal atau perkatanannya atau pendapatnya kepada Allah dan Rasul-Nya yang tidak pernah dikatakan atau dianjurkan Allah dan Rasul-Nya, seperti yang dijelaskan Nabi Muhmmad saw dalam hadist berikut :

مَنْ عَمِلَ عَمَلا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Siapa yang melakukan suatu perbuatan yang tidak ada dasarnya dari kami, maka amal tersebut ditolak” (HR. Muslim)

مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ

“Siapa yang mengada-ada terhadap saya dengan sengaja, maka berarti dia dengan sengaja menyiapkan tempat tinggalnya di neraka”. (HR. Muslim)

Hal penting lain yang dapat dipahami dari kedua hadits Rasul Saw di atas, bahwa tidak ada satupun perbuatan, termasuk pendapat dan perkataan seorang Muslim, demikian juga manusia lain, yang terlepas dari pertanggung jawaban akhirat. Oleh sebab itu, mengetahui sah atau tidaknya dan benar atau salahnya suatu perbuatan menurut Allah dan Rasul-Nya merupakan suatu keniscayaan.

Partai dalam Al-Qur’an

Dalam bahasa Arab, partai adalah Hizb (حزب). Dalam Al-Qur’an kata Hizb terdapat tujuh kali dalam bentuk tunggal (حزب), yakni dalam surat Al-Maidah : 56, Al-Mukminun : 53, Ar-Rum : 32 dan Al-Mujadilah : 19 (dua kali) dan 21 (dua kali). Sepuluh kali dalam bentuk jamak; Ahzab (أحزاب), yakni surat Hud : 17, Ar-Ro’du : 36, Mayam : 37, Al-Ahzab : 20 (dua kali) dan 22, Shad : 11 dan 12, Ghafir : 30 dan Az-Zukhruf : 65.

Yang menarik ialah, dari sepuluh kali sebutan kata Ahzab (الأحزاب) / partai-partai semua konotasinya negatif. Dalam surat Hud : 17, kata الأحزاب berarti al-milal (agama-agama/aliran-aliran sesat). Dalam surat Ar-Ro’du : 36 berarti thawa-if (kelompok-kelompok pembangkang). Dalam surat Al-Ahzab : 20 dan 22 berarti pasukan kafir multi nasional yang hendak menyerang Rasulullah dan kaum Muslimin di Madinah. Dalam surat Shad : 11, berarti para pemilik kekuatan, harta dan anak / pengikut yang banyak yang membangkang kepada Allah. Sedangkan dalam surat Az-Zukhruf : 65 الأحزاب berarti kelompok-kelompok sempalan. (Tafsir Ibnu Katsir).

Yang lebih menarik lagi untuk dicermati secara mendalam ialah kata حزب dalam bentuk tunggal dalam Al-Qur’an. Sebagaimana yang dijelaskan terdapat tujuh kali sebutan Hizb / حزب (dalam bentuk tunggal). Dari ketujuh kali sebutan tersebut terdapat dua kali dalam bentuk nakirah (umum/tidak definitif), yakni dalam surat Al-Mukminun : 53 dan Ar-Rum : 32. Keduanya berkonotasi negatif, yakni memecah belah agama menjadi beberapa pecahan seperti beriman sebagain dan kafir pada sebagian lainnya. (Tafsir Ibnu Katsir)

Adapun selain yang disebutkan di atas, terdapat lima kali sebutan حزب (dalam bentuk tunggal) yang diidhofatkan (menjadi kata majemuk). Dua kali diidhofatkan kepada Setan, Hizbusy-Syaithan (حزب الشيطان), yakni dalam surat Al-Mujadilah : 19. Sedangkan tiga sebutan lainnya diidhoftkan dengan kata Allah, yakni Hizbullah (حزب الله) seperti yang terdapat pada surat Al-Maidah : 56 dan surat Al-Mujadilah ayat 22.

Dari uraian dan penelusuran terhadap ayat-ayat yang bebicara terkait kata Hizb / partai, baik dalam bentuk tunggal, jamak, umum (nakirah) maupun yang diidhofatkan sehingga menjadi ma’rifah (defenitif), maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
Semu pembicaraan Allah dalam Al-Qur;an yang terkait dengan Hizb dalam bentuk jamak (الأحزاب ) adalah berkonotasi negatif.
Semua ayat yang membahas masalah Hizb dalam bentuk tunggal yang umum dan yang definitive adalah negatif, kecuali yang diidhofatkan kepada Allah (حزب الله) .
Setiap kata Hizb yang diidhofatkan hanya bermakan dua; Hizbullah (حزب الله) atau Hizbusy-syaithan (حزب الشيطان).
Berdasarkan keterangan ayat-ayat yang disebutkan di atas, maka pada hakikatnya partai itu hanya terbagi dua; Partai Allah dan Partai Setan.

Kriteria Partai Allah

Bicara masalah kriteria Partai tidak bisa terlepas dari pembicaraan kriteria para pemimpin, anggota dan aktivis partai itu sendiri yang menjadi aktor di dalamnya. Demikian juga dengan Partai Allah dan Partai Setan harus terkait dengan kriteria para pemimpin dan dan pengikutnya. Kriterianya banyak sekali dan tidak mungkin dibahas dalam tulisan pendek ini. Dalam kesempatan ini, pembahasan kriteria Partai Allah yang mencakup kriteria orang-orang yang terlibat di dalamnya, khususnya para pemimpin dan anggotanya, terfokus kepada ayat-ayat yang terkait langsung dengan kata Hizbullah (حزب الله) dalam Al-Qur’an. Di antaranya dalam urat Al-Maidah ayat 54 – 57 dan surat Al-Mujadilah ayat 22. Di antara kriteria Partai Allah adalah :
Mendapat kasih sayang Allah
Mencintai Allah
Low profile terhadak kaum Mukminin
Berani bersikap tegas terhadap orang-orang kafir
Berjihad (dengan harta dan jiwa) di jalan Allah
Tidak takut celaan orang-orang yang mencela atau berani menyuarakan dan mengatakan al-haq (kebenaran yang datang dari Allah dan Rasul-Nya, apapun resikonya. (Ibnu Katsir) termasuk di hadapan penguasa yang zalim.
Memberikan loyalitas penuh hanya kepada Allah, Rasul Muhammad Saw dan kaum Mukminin.
Tidak mengangkat pemimpin orang-orang yang memperolok-olokan dan memermainkan agama Allah dari kaum Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani) dan orang-orang kafir lainnya.
Bertaqwa kepada Allah dengan mengerjakan semua perintah-Nya dan meninggalkan semua larangan-Nya.
Tidak berkasih sayang apalagi berkolaborasi atau musyarokah dengan orang-orang yang menentang (hukum) Allah dan Rasul-Nya, kendati mereka adalah bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara kandung dan keluarga mereka sendiri.
Memfokuskan aktivitas dan kehidupan untuk meraih kemenangan akhirat, yaitu kerdhaan Allah dan masuk syuga Allah.

Yang menarik perhatian kita dari beberapa ayat yang terkait langsung dengan kriteria Partai Allah di atas ialah bahwa Allah terlibat langsung memantapkan keimanan mereka, menolong merkea di dunia lewat para malaikatnya dan memastikan mereka masuk syurga serta meraih keridhaan-Nya. Itulah yang dianggap Allah sebagai kemenangan hakiki.

Kriteria Partai Setan

Kriteria Partai Setan, para pemimpin dan pengikutnya juga cukup banyak. Dalam kesempatan ini, hanya akan diuraikan berdasarkan ayat-ayat yang terkait dengan partai berkonotasi negatif dan setan. Di antaranya seperti yang disebutkan Allah dal surat Al-Mukminun : 53-56, Ar-Rum : 29 - 32 dan Al-Mujadilah : 14 – 20. Di antara krteria Partai Setan itu ialah :
Memecah belah agama Alah dengan cara mengimani sebagian dan mengingkari sebagian lain atau memecah belah umat dengan berkelompok-kelompok atau berpartai partai dan setiap kelompk/partai bangga dengan kelompok/partai masing-masing.
Tertipu diri dan bangga dengan harta dan anak-anak (pengikut).
Mengikuti hawa nafsu sehingga hawa nafsu yang dijadikan petunjuk hidup.
Tidak mengikuti fitrah yang pada dasarnya cenderung kepada agama Allah.
Tidak mau mempelajari dan menerapkan agama Allah (Islam) dalam kehidupan.
Tidak mau kemabali kepada Allah dan tidak bertaqwa kepada-Nya serta melaliakan salat.
Mengangkat pemimpin orang-orang yang dimurkai Allah.
Suka bersumpah atau bersaksi dengan bohong dan suka berbuat kejahatan, termasuk KKN.
Menjadikan sumpah sebagai tameng.
Melarang manusia dari jalan Allah dan menerapkan hukum Allah.
Mereka menduga dengan harta yang melimpah dan anak yang banyak akan mampu menghalang mereka dari azab Allah, khususnya azab neraka.
Mereka menduga berada pada jalan yang benar.
Tergoda oleh setan sehingga lupa mengingat Allah.
Suka menantang ajaran Allah dan Rasul-Nya.

Dari beberapa ayat yang terkait dengan kriteria Partai Setan tersebut ada hal yang sangat menarik yakni, Allah menjamin para pengikutnya, baik pemimpin maupun anggota dan simpatisannya akan medapatkan kehinaan di dunia dan azab Allah di akhirat kelak.

Kesimpulan

Dari pemaparan beberapa ayat tersebut di atas yang terkait dengan Hizb (حزب) baik dalam bentuk tunggal, jamak, nakirah (tidak definitif) maupun ma’rifah (definitif) dapat disimpulkan sebagai berikut :
Dalam Al-Qur’an, masalah partai adalah masalah besar dan fundamental. Sebab itu aktivitas partai, termasuk mengikuti Pemilu baik dalam memilih para anggota legislatif maupun pemimpin suatu negara (presiden) atau kepala daerah (gubernur dan wakikota/bupati) hanya akan bermanfaat jika masalah partai terlebih dulu dapat diselesaikan. Kalau tidak, hanya akan menjadi hal yang sia-sia dan bahkan bisa menjadi maksiat yang akan menyebabkan Allah murka dan memasukkan para pelakunya ke dalam neraka.
Partai yang memenuhi kriteria Hizbullah disebut dengan Partai Allah atau Partai Islam, kendatipun tidak menamakannya dengan Hizbullah. Sedangkan partai yang memenuhi kriteria Hizbusyyaithan, berarti partai tersebut bukan Parati Allah atau Partai Islam kendatipun namanya Hizbullah atau partai Islam dan kendatipun para pemimpin dan pengikutnya mengklaim Partai Islam atau partai Dakwah Islam.
Sebab itu, dimata Allah, partai itu hanya dua, yakni Partai Allah dan Partai Setan.
Partai Allah atau Partai Islam ialah yang melandasi semua aktivitasnya berdasarkan ajaran Islam secara komprehensif, bukan hanya politik praktis, dapat diuji kebenarannya melalu metodolgi Islam yang benar, bukan hanya klaim belaka, tanpa takut dan khawatir akan bebagai tantangan dan resiko yang harus dihadapi dan tidak meniru cara-cara atau langkah-langkah setan dalam menjalankan semua aktivitasnya. Tujuannyapun jelas, yakni menggapai ridha dan syurga Allah, bukan kekuasaan di dunia, apalagi dalam kondisi pendukungnya masih sedikit dan SDM-nya dalam berbagai lapangan masih lemah. Kemenangan dunia dalam bentuk kekuasaan tidak ada kaitannya dengan kemenangan dakwah jika hukum yang dipakai dan ditegakkan dalam pemerintahan masih saja hukum jahiliyah, mayoritas masyarakatnya masih anti terhadap Islam, dan keadilan Islam belum bisa ditegakkan. Kalau ada yang mengklaim hal tersebut, ketahuilah itu adalah sebuah propaganda kebohongan para pemabuk kekuasaan serta kenikmatan dunia yang sedikit dan menipu itu. Selain dari Partai Allah itu adalah Partai Setan, apapun bentuk dan namanya serta siapapun pemimpin dan pengikutnya.
Partai Allah adalah partai yang menyadari ghoyah / tujuan keberadaannya adalah ibadah kepada Allah. Sebab itu urusannya akan terangkat ke ufuk yang lebih tinggi yang penuh cahaya. Demikian pula halnya dengan intelektualitasnya, perasaannya, dan semua aktivitasnya bersih dari berbagai kekotoran yang dilakukan oleh Partai Setan. Karena semua aktivitasnya diharapkan bernilai ibadah dengan menjaga eksistensinya sebagai khalifah Allah dan berkeinginan kuat menegakkan manhaj Allah di muka bumi, maka labih aula baginya untuk tidak melakukan keobohongan, tipuan, kemungkaran, laghwi, kesombongan serta tidak meggunakan cara-cara dan alat yang kotor, rendahan dan najis sebagaimana yang dilakukan oleh Partai Setan.
Partai Allah adalah partai yang tidak isti’jal (tergesa-gesa) ingin memetik buah sebelum waktunya, tidak menciptakan jalan sulit dan mendaki untuk dirinya. Yang terpenting tujuan ibadah dengan berbagai aktivitasnya yang diklaksanakan secara kontinyu tercapai dan dilakuakn dengan niat yang ikhlas hanya karena Allah beradasarkan kapasitas dan daya dukung yang ada agar terhindar dari kondisi besar pasak dari tiang dan nafsu besar tenaga kurang. Untuk mencapai kondisi seperti itu, nafsu syahwat terhadap harta dan kedudukan harus mampu dikerangkeng kuat-kuat. Rasa takut dan khawatir harus bisa dibuang jauh-jauh dari dalam diri dalam semua marhalah yang harus dilewati. Kenapa harus rakus dan tamak terhadap dunia? Kenapa harus khawatir dan paranoid dalam menjalankan ibadah kepada Allah? Padahal setiap detik dan waktu merasakan rengkuhan tangan dan kasih sayang Allah.
Partai Allah adalah yang memahami sunnatullah dalam perubahan sosial, di samping memahami syariat Allah dan sunnah Rasulullah yang tertulis dan menjadi acuan moral dan teknis operasional kehidupan. Itu yang dilakukan Rasulullah Saw. Rasulullah sadar betul bahwa perubahan sosial itu tidak akan pernah terjadi hanya dengan menguasai pucuk kepemimpinan suatu masyarakat atau negara sekalipun, jika masyarakatnya belum bisa menerima kehadiran manhaj Allah dalam mengatur aturan main kehidupan dengan segala tingkatannya. Negosiasi para petinggi Partai Setan di Makkah agar Rasulullah menerima kepemimpinan tertinggi, harta yang melimpah dan istri yang paling cantik saat itu ditolak mentah-mentah oleh Beliau sambil berkata : Demi Allah, jika kalian mampu meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, aku tidak akan meninggalkan urusan (dakwah) ini. Demikian pula halnya bahwa perubahan sosial itu tidak akan pernaha terjadi hanya dengan mengejar kuatntitas dan bukan kualitas.
Sebab itu, Partai Islam adalah partai yang mencontoh Rasul Saw di mana dakwah dengan pengertian yang benar dan disertai dengan aktivitas yang komprehensif yang menjadi panglima. Bukan politik praktis yang menjadi panglima dan menjadi segala tumpuan harapan. Apalagi politik praktis itu dijadikan jalan tol pragmatisme para elitnya. Jika hal tersebut yang terjadi, ketahuilah partai tersebut sedang menuju kehancuran dan sedang menggali lubang kuburnya sendiri karena sudah dapat dipastikan akan melanggar, meninggalkan dan meremehkan berbagai ajaran Islam yang fundamental alias mengikuti langkah-langkah setan. Karena dalam hidup ini Allah telah gariskan hanya ada dua jalan, jalan Allah/ Islam atau jalan setan.
Partai Islam adalah partai yang menjadikan ikatan akidah atau iman sebagai ikatan utama dan terutama, tanpa melihat warna kulit, status sosial, kontribusi harta, keturunan, bahasa dan suku. Semua kerjasama (taawun) yang dibangun dengan siapaun dan kelompok manapun harus mengacu kepada pakem akidah dan aturan main Islam, apalagi dalam memilih pemimpin negara dan pemerintahan lainnya. Lain halnya dengan Partai Setan, akidah, syariaah dan akhlak tidak menjadi ketentuan. Yang penting baginya adalah kepentingan. Warna warni ideologi tidak menjadi perkara selama menguntungkan elite dan grupnya dari sisi dunia.
Partai Islam adalah partai yang memiliki visi dan misi seperti yang diucapkan salah seorang sahabat bernama Rib’i ibnu ‘Amir saat berhadap-hadapan dan bernegosiasi dengan penguasa Persia yang bernama Rustum. Saat menuju ruang kerja (duduk-duduk) sang penguasa, yang dihampari karpet merah yang berkualitas terbaik di dunia saat itu, Rib’i merobek-robek dengan pedangnya sehingga membuat murka prajurit yang sedang bertugas menjaga sang penguasa. Saat ditanya siapa yang mengutus pasukan Islam ke sana dan apa tujuannya, Rib’i menjelaskannya dengan enteng dan terus terang : “Kami diutus Allah kemari dengan misi : - Membebaskan manusia dari mengabdi kepada sesama manusia dan hanya mengabdi kepada Allah Ta’ala. - Menyelamatkan mereka dari kejahatan berbagai ideologi, pemikiran dan konsep dengan keadilan Islam. - Menyelamatkan manusia dari kesempitan (teritorial dan kehdupan) dunia kepada kelapangan dunia dan kelapangan akhirat (masuk syurga).
Sebab itu, partai Allah tidak akan pernah dapat bekerjasama dengan Partai Setan dalam menegakkan hukum dan ajaran Allah. Hal tersebut disebabkan visi dan misi yang berseberangan 180 derajat. Partai Allah menuju keridhaan dan syurga-Nya. Sedangkan Partai Setan menjemput murka dan neraka Allah. Lalu bagaimana jika di antara keduanya bergandeng tangan, apalagi dengan agenda-agenda yang tidak sesuai dengan tujuan Islam, baik yang tersembunyi mapun yang terang-terangan, ketahuilah telah terjadi pencampuran antara Al-Haq dengan Al-Bathil yanag sangat dilarang Allah. Sebab itu, harus segera ditinggalkan, jika nasehat dan peringatan sudah diabaikan.

Saudaraku yang dirahmati Allah. Sebelum melangkah dan berbuat lebih jauh, fikirkanlah masak-masak apakah langkah dan perbuatan itu akan membawa kita bergabung ke dalam Partai Allah atau justru ke dalam Partai Setan. Semoga Allah selalu mejaga kita dari godaan dan tipu daya setan, la’natullahi ‘alih, baik dari kalangan jin maupun manusia. Amin. Wallahu a’lamu bish-showab.

Jangan Keliru Pilih Semangka

Monday, 06 April 2009

Pemilihan Umum tinggal seminggu lagi, namun umat Islam masih belum bisa menentukan pilihannya. Ketika pamor partai Islam semakin meredup, haruskah ummat memilih sembarangan?


Ingar-bingar terus mewarnai panggung politik tanah air dalam pekan-pekan terakhir ini. Maklumlah, hajatan demokrasi terbesar di negeri ini hanya tinggal sebulan lagi. Spanduk-spanduk warna-warni centang-perenang di jalan. Bendera-bendera partai besar kecil berkelebat riuh merusak keindahan kota. Ratusan baliho segede gajah menutup pemandangan. Album-album foto jalanan menampilkan caleg-caleg narsis yang haus suara. Sementara pepohonan, tiang listrik, tiang telepon dan tugu beton mendadak berbuah pas foto.

Tak cukup sekadar nampang lewat baliho, spanduk dan selebaran, belakangan para elit politik kian rajin terbang wira-wiri ke luar kota. Mendadak mereka jadi getol turun ke bawah, alias turba menurut bahasa Orde Baru. Tiba-tiba mereka jadi ramah dan punya perhatian kepada masyarakat. Bahkan dalam waktu sehari, mereka bisa menclok kota sana, terbang daerah sini, lalu menclok ke wilayah lain lagi tanpa berhenti untuk sekadar ‘menyapa konstituen’. “Ini salah satu tugas kami,” kata Ketua Dewan Pembina Golkar, Surya Paloh.

Temu kader, aksi simpatik, dan penyuluhan kepada masyarakat kini menjadi menu keseharian para petinggi partai politik. Naik turun panggung jualan kecap politik pun menjadi pekerjaan baru mereka. Yang sudah lincah bersilat lidah tentu semakin tampak piawai. Main klaim sudah jadi hobby, sulap data bukan lagi hal tabu, sementara berbohong sudah tak lagi menjadi beban. Lalu bagaimana pekerjaan kantor dan tugas negara? Hhmm… mohon maaf, untuk sementara dilupakan dulu…

Untuk urusan klaim-mengklaim, tengoklah betapa Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Golkar sama-sama mengaku bahwa merekalah yang paling berjasa hingga Indonesia kembali mencapai swasembada pangan. “Swasembada pangan dicapai di masa pemerintahan SBY…” kata Demokrat. Sementara kata PKS, swasembada dicapai karena Anton Apriantono, sang Menteri Pertanian, adalah orang PKS. Adapun Partai Golkar merasa ide dan pemilik lahan yang terus berupaya hingga berhasil meraih swasembada pangan adalah Ketua Umum Partai Golkar, Jusuf Kalla.

Bagi yang baru belajar jualan kecap, keliru ngomong, grogi dan salah tingkah jadi tontonan selingan yang lucu. Alih-alih jualan kecap nomor satu, Ary Mardjono, Sekjen Partai Hanura malah membanting kecapnya di depan publik. Saat berorasi di depan massanya sendiri di lapangan Pulo Mas, Jakarta, ia keseleo lidah. “Salam untuk kader Golkar,” teriaknya kencang. Buru-buru ia mengoreksi kesalahan. Namun semua sudah terlanjur basi. Teriakan huuu dari konstituennya sendiri sempat terlontar…

Pemilu dan Aspirasi Rakyat
Tapi tampaknya, kampanye dan kegiatan politik partai yang ramai itu lagi-lagi hanya sekadar menjadi acara para elit politik. Meski seolah seluruh rakyat ikut terimbas grengseng pemilu, sebenarnya mereka rata-rata hanya ikut arus. Apalagi di kampung dan di desa, di mana pendapatan masyarakat turun drastis, daya beli anjlog, sementara harga-harga membubung tinggi. Iming-iming rupiah dan sembako akhirnya jadi pilihan untuk menyambung hidup. “Saat ini paling mudah mengumpulkan warga desa untuk kampanye,” kata Dr Iman Sugema, ekonom dari Intercafe.

Hanya dengan iming iming duit sepuluh-dua puluh ribu, rakyat mau diajak ikut truk bak terbuka, datang ke kampanye dan berpanas-panas ria. Apalagi jika ada acara bagi-bagi sembako. Mereka akan sangat bersemangat dan datang paling pagi di baris terdepan, bahkan siap rebutan. Lalu, menjelang hari pencoblosan, “serang fajar” biasa digelar. Sambil dibekali sembako, rokok dan amplop berisi uang sepuluh dua puluh ribu, mereka kembali diingatkan untuk mencontreng bapak ini, dibisiki untuk memilih ibu anu, atau mencoblos partai yang itu.

Sebelum hari pencoblosan, rakyat jelata sungguh dimanja. Jika permintaan mereka belum bisa dipenuhi segera, janji muluk pun ditebar. Tengoklah janji-janji kampanye partai, mulai dari pengentasan kemiskinan, perbaikan infrastruktur, sekolah gratis, hingga kemandirian negara. Maklumlah, pilihan mereka memang sangat dibutuhkan, agar sang calon legislatif bisa nangkring di DPR atau di DPRD. Contrengan itu pun sangat diperlukan agar partai mereka tidak terlempar keluar electoral threshold. “Syukur-syukur total suara yang ditangguk lumayan banyak sehingga menarik minat partai lain untuk mengajak koalisi,” kata Arbi Sanit, pengamat politik Universitas Indonesia.

Tapi itu cerita sebelum pemilu. Usai pemilu, lain lagi ceritanya. Rakyat diminta untuk bisa memaklumi. Sebab, para anggota legislatif mulai sibuk dengan urusan rapat-rapat komisi, kunjungan kerja ke daerah hingga melancong ke luar negeri. Partai-partai penguasa maupun oposisi pun sibuk memainkan bandul politik. Untuk urusan pemenuhan janji, lagi-lagi rakyat hanya bisa menunggu dan berharap semoga sang anggota legislatif dan partainya masih ingat pada semua janjinya.

Walhasil, rakyat jelata yang selalu disebut-sebut sebagai sumber kekuasaan dalam sistem demokrasi, pada kenyataannya hanyalah obyek penyerta. Aspirasi yang seharusnya diperhatikan negara dan partai politik, lebih sering terlupakan. Perannya hanya diperhitungkan menjelang dan pada saat pemilu. Habis itu, selesai urusan. Pemenuhan aspirasi rakyat bukan lagi prioritas utama mereka. Semua dilimpahkan kepada penguasa terpilih, sementara partai-partai yang tak kebagian kue kekuasaan kemudian menjadi tukang kompor masyarakat, tapi enggan memperjuangkan sampai titik darah penghabisan.

Di saat-saat seperti ini, tampak jelas betapa konsep massa mengambang yang dirancang Orde Baru untuk memetakan masyarakat dalam sistem demokrasi ala Soeharto terasa sangat jitu dan berhasil, meski tak bisa dikatakan benar. Dengan konsep ini, hubungan antara partai dengan masyarakat hanya terjalin menjelang pemilu. “Usai pemilu, pudar pula hubungan mereka,” kata pengamat politik LIPI Syamsuddin Haris. Seolah urusan kepartaian sudah usai begitu mereka berhasil mengantarkan kader-kader partainya menjadi anggota legislatif, atau di eksekutif.

Dalam sistem politik yang terbangun sejak empat dasa warsa lalu itu, pemahaman umum tentang rakyat juga telah didesain sedemikian rupa, sehingga aspirasi rakyat tidak dihitung secara individu. Rakyat seolah berbentuk jamak, sehingga massa-lah yang dilihat penguasa. Ideologi dan aspirasi individu tidak ada. Yang ada hanyalah aspirasi massa dan golongan. Itu pun aspirasi yang sudah dirancang dan dipaksakan oleh penguasa.


Aspirasi Ummat Islam
Sudah bertahun-tahun pula aspirasi ummat Islam tak pernah diperhatikan dengan baik, meski ummat Islam adalah golongan mayoritas penduduk Indonesia. Kalaupun diperhatikan, umumnya hanya sekitar urusan muamalahnya saja. Jadi, sejak pemilu di jaman Orde Baru, kaum muslimin di Indonesia sudah seperti barang rebutan. Sayang, mereka sudah langsung dilupakan begitu acara hajatan demokrasi selesai. Bahkan tak jarang, mereka semakin ditekan dengan berbagai beleid dan aturan setelah itu.

Karena itu, di tengah semangat yang menggebu dari para elit partai menjelang pemilu, masyarakat kini justru tampak semakin apatis menghadapi perkembangan politik tanah air. “Buat apa sih ada pemilu, kalau keadaan kita tidak juga berubah,” kata Slamet, seorang seorang sopir taksi di Jakarta, pekan lalu. Ia masih ingat betapa Demokrat, partai yang dulu dipilihnya pada Pemilu 2004 ternyata tak mampu memenuhi janjinya ketika itu. “Pendidikan buat anak-anak nyatanya tetap mahal,” ujarnya pula.

Sementara urusan-urusan yang dijanjikan partai-partai politik saja tak segera dilunasi, apalagi urusan yang benar-benar dituntut ummat. Misalnya pembubaran Ahmadiyah, enyahnya NAMRU, hingga pelaksanaan syariat Islam di Indonesia. Bisa dipastikan, selama sistem sekuler liberal masih terus diterapkan di Indonesia, maka aspirasi-aspirasi ummat Islam itu bakal menjadi aspirasi abadi ummat Islam Indonesia.

Partai politik pun kian tak diminati. Selain karena kurang greget dan banyak yang tak punya platform jalas, para pemimpin, dan elit partai mereka pun banyak yang kepentok kasus di berbagai tingkat. Kini berbagai kasus korupsi menimpa puluhan anggota DPR dan DPRD sementara puluhan kasus lain mengintai. Meski sebagian belum berkekuatan hukum tetap hal itu telah memperburuk citra politisi. “Kalau denger berita di televisi, kayaknya pada maling semua, ya,” kata Parman, sopir yang lain.

Jika pamor partai sekuler kian redup, partai Islam pun setali tiga uang. Meski berbagai kasus kriminal yang terungkap tak hanya melibatkan politisi berbasis Islam, namun citra partai Islam langsung tercoreng. Repotnya lagi, perilaku partai Islam justru sering tak berpihak kepada rakyat. Masih terekam di benak ummat, bahwa ketika pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM), partai-partai Islam hanya duduk manis, dan diam tanda setuju.

Konflik internal di tubuh beberapa partai Islam pun semakin membuat masyarakat apatis. Sementara itu, sikap para pemimpin partai itu kadang sangat berlebihan. Saling hujat terjadi sehingga muncul kesan bahwa dalam partai Islam hanya ada saling berebut kekuasaan dan keuntungan pribadi. Sementara itu, para pengamat pun memprediksi bahwa perolehan suara partai Islam, dan partai sekuler berbasis massa Islam dalam pemilu nanti bakal turun. “Partai berbasis Islam sudah tidak diminati lagi,” kata Saiful Mujani, peneliti dari LSI


Lalu Nyontreng Apa Dong?
Melihat kenyataan perpolitikan tanah air yang kurang berpihak kepada ummat Islam ini, maka pertanyaan bakal nyontreng apa pun menjadi sangat relevan. Apalagi semua kondisi buruk ini telah memunculkan apatisme politik yang parah. Bukan tak mungkin jika dalam pemilu sebulan ke depan nanti, jumlah pemilih yang tidak memilih alias golongan putih akan semakin membengkak.

Memang, persoalan memilih atau tidak memilih masih menjadi bahan perdebatan seru. Sebagian ulama mengharamkan ikut terlibat dalam pemilihan umum dalam sistem demokrasi. “Sebab, demokrasi adalah sistem kufur sehingga melaksanakan pernik-perniknya pun haram hukumnya,” kata Ustadz Abu Bakar Baasyir, pengasuh Pesantren Al Mukmin, Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah.

Sementara itu, ulama dan kelompok muslim yang lain menganggap bahwa perjuangan dakwah lewat parlemen adalah langkah yang sah dalam Islam. Meski Demokrasi tidak berasal dari Islam, tapi bisa dimanfaatkan untuk perjuangan Islam. Bahkan memilih untuk tidak memilih alias golput bisa dinilai tidak bertanggung jawab karena akan memunculkan wakil rakyat dan pemimpin negara dari kalangan non muslim dan tidak amanah. “Justru kalau tidak memilih akan merugikan kepentingan ummat,” kata Imam Besar Masjid Istiqlal, KH Ali Mustafa Ya’qub.

Memang, semua masih diliputi pro dan kontra. Jawabannya tergantung dari sisi mana meniliknya. Namun, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menilai, pemilu bulan depan adalah momentum strategis untuk mengubah peri kehidupan berbangsa. Tanpa menyebutkan nama partai tertentu, MUI menyeru masyarakat agar hanya memilih pemimpin yang sesuai dengan syarat ideal Islam. “Sebab, memilih pemimpin yang memenuhi syarat-syarat ideal dalam Islam adalah wajib,” kata Ketua MUI, KH Kholil Ridwan.

MUI juga menyeru kepada pemilih untuk menggunakan hak pilihnya sesuai kemantapan hati, dengan memilih calon legislatif yang beriman, bertaqwa, jujur (siddiq), terpercaya(amanah), aktif, dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan (fathonah), dan mau memperjuangkan kepentingan umat Islam dan bangsa. "Kami mendorong pemilih untuk memilih pemimpin dengan berhati-hati dan selektif, maka haram kalau memilih pemimpin yang diluar syarat-syarat yang ditentukan," kata Ketua MUI KH Makruf Amin.

Himbauam MUI pun segera didukung Forum Ummat Islam. Bahkan ditekankan pula agar ummat Islam memilih pemimpin atau anggota legislatif yang senantiasa memperhatikan aspirasi ummat dan benar-benar memperjuangkan syariat Islam. “Mereka yang layak dipilih adalah mereka yang akan menjadikan DPR sebagai mimbar penegakan syariat Islam secara tegas dan nyata,” kata Sekretaris Jenderal FUI KH Muhammad Al Khaththath.

Jadi, apapun pilihan mereka nanti, ummat harus awas dan waspada dalam memilih calon legislatif dan calon pemimpin. Mereka harus memperhatikan benar, caleg mana yang benar-benar ingin memperjuangkan syariat secara nyata. Jangan sampai mereka memilih calon yang mengaku dari partai Islam tapi ternyata mengusung ide sosialisme, kapitalisme, sekulerisme, dan liberalism.

Tentu saja ummat juga tidak layak memilih calon wakil rakyat dari partai yang konon partai Islam namun jelas-jelas mengatakan bahwa mereka sudah tidak mengusung isu syariat lagi karena isu syariah sudah kuno. Tengoklah ketika Wakil Sekjen PKS Zulkieflimansyah mengatakan, “Bagi kami di PKS, tidak lagi penting bicara tentang negara Islam, syariat Islam. Itu sudah agenda masa lalu lah."

Betapa janggalnya lontaran pemikiran seorang petinggi partai dakwah seperti itu. Bahkan para murabbi jamaah tarbiyah yang membidani lahirnya PKS 10 tahun pun tertegun nyaris tak percaya pada lontaran pendapat ini. Lalu, untuk membangun peradaban di negeri ini, sistem apa yang akan dipakainya? Apakah sistem kafir dan syariat setan? Ataukah mereka sudah merasa cukup dengan sistem buatan manusia yang terbukti tak mampu menyejahterakan dan tidak bisa menenangkan hati ummat seperti ini?

Pendeknya, dalam menentukan pilihan pada pemilu kali ini ummat harus benar-benar waspada. Jika sekiranya masih ada tokoh yang benar-benar memperjuangkan syariat, pilihan harus jatuh ke tangan dia. Tapi jika tidak ada, apa mau dikata, kita harus memilih untuk tidak memilih. Jangan sampai ummat keliru memilih semangka. Di luar kelihatan hijau, sejuk dan Islami, tapi ternyata otak dan kepribadian calon-calon legislatif itu sebenarnya merah, sekuler, dan ternyata tak mau memperjuangkan tegaknya syariat Islam. (Abu Zahra/www.suara-islam.com)

Partai Islam Menang, Indonesia Negara Islam





Suara-Islam, Rabu, 08 April , 2009 2:39:50


Wawancara dengan Prof DR Didin Hafidhuddin MSc
(Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional)


Mungkinkah Indonesia menjadi negara berdasarkan syariah Islam ? Mengapa tidak ! Piagam Jakarta yang berkaitan erat dengan Mukadimah UUD 1945 telah menyebutkan “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluk-pemeluknya”. Dengan demikian, jika umat Islam Indonesia ingin kembali ke Piagam Jakarta, maka syaratnya hanya satu yakni partai partai Islam harus memenangkan pemilu legislatif dan pilpres.

Tetapi kenyataannya menjelang pemilu legislatif yang tinggal menghitung hari ini, beberapa lembaga survei melaporkan perolehan suara partai Islam termasuk partai berbasis massa Islam seperti PMB, PKS, PBR, PPP, PKNU, PKB, PAN, PBB dan PPNUI) diprediksi akan mengalami penurunan secara signifikan. Diprediksi pemilu kali ini bagi sebagian partai Islam hanya tinggal kenangan sejarah karena tidak mampu lagi mencapai 2,5 persen parliamentary treshhold (PT).

Padahal pemilu pertama 1955, suara partai Islam yang diwakili Masyumi dan NU hampir sama dengan suara partai nasionalis (PNI) dan komunis (PKI). Sedangkan pemilu 1999 turun menjadi 36 persen, sementara pemilu 2004 naik sedikit menjadi 38 persen.

Semerntara dari berbagai lembaga survei seperti LP3ES dan LSI melaporkan penurunan suara partai Islam. Dari hasil survei LP3ES pada Maret ini menyebutkan, suara PKS hanya 4,7 persen dan PPP hanya 4,15 persen. Sedangkan survei LSI menyebutkan, suara PKB akan turun drastis dengan hanya mendapatkan 5 persen dari 12 persen pada pemilu lalu. Sementara PAN akan kehilangan 2 persen suara dan tinggal 4,7 persen. Jelas berbagai laporan lembaga survei itu cukup menghawatirka partai Islam dan masa depannya di Indonesia.

Memang sebelumnya ada diskurus untuk membentuk Poros Islam yang berupa koalisi besar partai Islam pasca pemilu legislatif, sebagaimana Poros Tengah pada pilpres 1999 lalu. Sebab dengan berkoalisinya 9 partai Islam, maka diharapkan perolehan suaranya akan melebihi syarat pengajuan capres dan cawapres dengan melampaui presidential threshold (PT). Sebab sesuai dengan Pasal 9 UU Pilpres, minimal perolehan 25 persen suara atau 20 persen kursi parlemen, partai atau koalisi partai dapat mengajukan capres dan cawapres sendiri.

Karena begitu ketatnya syarat pengajuan capres dan cawapres, maka diprediksi pada pilpres nanti maksimal hanya 4 pasang capres-cawapres bahkan 3 pasang saja. Kalau 4 pasang capres, maka 3 dari partai nasionalis dan 1 koalisi partai Islam. Demikian pula kalau 3 pasang capres maka 2 dari partai nasionalis dan 1 partai Islam. Namun jika tidak, maka semua capres hanya dari partai nasionalis meski cawapresnya bisa dari partai Islam kalau berkoalisi dengan partai nasionalis.

Namun rasanya sangatlah sulit terbentuk Poros Islam dalam menghadapi pilpres, sebab baik partai Islam maupun nasionalis sama bermanufer politik demi kepentingan diri sendiri. Terbukti PPP akan menjalin koalisi dengan Golkar dan PDIP dengan membentuk koalisi golden triangle bagi kepentingan pilpres. Sementara PKS, PKB, PAN dan Demokrat akan membentuk koalisi golden gate untuk menghadapi kekuatan golden triangle. Hal itu mengingatkan kita akan adanya permainan politik pada pilpres lalu dimana terbentuk koalisi kerakyatan dan koalisi kebangsaan.

Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah sebagai partai pendukung syariah, apakah partai Islam masih memiliki prospek baik untuk didukung mayoritas rakyat Indonesia yang beragama Islam ? Sebab sebagaimana hasil survei Ray Morgan Research, yang dilakukan pada Juni 2008, 52 persen rakyat Indonesia menghendaki penerapan syariah Islam.

Sebenarnya prospek perolehan suara partai Islam akan semakin menggembirakan bahkan tidak mustahil akan memenangkan pilpres jika memiliki pasangan capres dan cawapres sendiri, tetapi syaratnya harus terbentuk koalisi besar partai Islam. Hal itu bisa terjadi karena kekuatan partai nasionalis dipastikan akan terpecah menjadi 2-3 pasangan capres-cawapres.

Berikut ini wawancara dengan Guru Besar Universitas Ibnu Khaldun Bogor dan Ketua Umum BAZNAS, Prof DR Didin Hafidhuddin MSc, seputar prospek partai Islam dalam pemilu 2009 dan Indonesia menuju negara berdasarkan syariah Islam.



Bagaimana prospek partai Islam pada pemilu 2009 ?
Sebagai umat Islam tentu saja kita memiliki keinginan yang kuat agar partai Islam mendapatkan suara mayoritas. Partai Islam adalah partai yang berasaskan Islam seperti PKS dan PBB. Sedangkan partai yang berbasiskan konstituen umat Islam, walaupun partai tersebut tidak mengasaskannya sebagai partai Islam, misalnya PAN dan PKB tetapi pendukungnya umat Islam, bisa disebut sebagai partai Islam.

Tetapi kalau melihat dari realitas yang ada, kita harus jujur mengakui bahwa untuk menjadikan partai Islam sebagai mayoritas di parlemen, kelihatannya agak sulit. Pertama, pada internal partai Islam sendiri kelihatannya tidak solid dengan memperlihatkan ukhuwah Islamiyah yang kuat. Kasus konflik internal PKB sebagai contoh, terlihat betapa perpecahan internal itu sangat memprihatinkan. Mudah mudahan tidak ada lagi perpecahan yang begitu berat. Karena itu secara realitas, mungkin kita harus jujur, perjuangan partai Islam untuk mendapatkan suara di DPR, adalah perjuangan yang sangat berat.


Mengapa dalam setiap pemilu partai nasionalis selalu unggul dari partai Islam kecuali pemilu 1955 ?
Karena partai nasionalis merupakan partai yang platformnya seolah-olah menjaga betul kesatuan RI. Padahal partai Islam platformnya juga sama, dimana tidak ada partai Islam kecuali ingin menjaga keutuhan bangsa dan negara dari segala macam rongrongan dari luar. Tetapi kemudian seolah-olah diopinikan kalau partai Islam akan mendirikan negara Islam yang berbeda dengan NKRI, sedangkan partai nasionalis seolah-olah sebagai pahlawannya. Padahal dalam praktek seandainya mendapatkan kekuasaan, saya yakin negara ini akan lebih makmur dan sejahtera kalau dipimpin partai Islam daripada partai nasionalis.

Menurut saya, nasionalisme juga akan terbangan dengan baik, karena nasionalisme yang paling baik adalah nasionalisme yang berdasarkan keimanan kepada ketauhidan. Karena bagi kita umat Islam, mempertahankan negara dari tangan penjajah adalah bagian dari akidah dan keimanan. Oleh karena itu tidaklah benar NKRI akan hancur jika partai Islam berkuasa atau akan runtuh ketika partai nasionalis berkuasa, belum tentu. Tetapi opini sudah begitu dahsyat, seolah-olah partai Islam tidak berpihak pada NKRI.



Apakah pemilu yang mengusung demokrasi, sudah sesuai dengan syariah Islam ?

Demokrasi yang murni dari Barat tentu saja banyak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Karena dalam pandangan Islam, yang namanya kebenaran itulah yang menentukan kemenangan, walaupun seorang diri tetapi kalau benar harus diikuti. Namun sebaliknya, walaupun mayoritas orang misalnya tidak setuju dengan kebenaran itu, tetapi tetap saja dalam pandangan Islam kebenaran harus ditegakkan.

Tetapi kita melihat, sesungguhnya demokrasi dapat diisi dengan nilai nilai Islam ketika demokrasi itu dianggap sebagai sebuah syuro. Sebab syuro merupakan salah satu praktek demokrasi dalam Islam. Tetapi syuro sesunggunya berkaitan dengan masalah teknis operasional, bukan teknis mendasar. Adapun yang dikatakan syuro dalam pandangan Islam sangat berbeda dengan demokrasi sekarang. Karena untuk menjadikan syuro sebagai bagian dari kebutuhan berbangsa dan bernegara, memang diperlukan waktu.

Oleh karena itu, menurut saya partai Islam harus betul-betul memberikan keyakinan kepada masyarakat, bahwa ketika mereka mendapatkan suara yang baik atau signifikan, menempatkan prinsip prinsip syuro dalam demokrasi. Jadi demokrasinya hanya sebagai baju saja tetapi isinya adalah praktek syuro. Itulah yang sebenarnya kita harapkan.



Hampir semua lembaga survei mengatakan, dalam pemlu 2009 partai Islam akan mengalami penurunan secara signifikan jika dibandingkan dengan pemilu 1999 (38 persen) dan pemilu 2004 (34 persen). Bagaimana menurut anda ?

Saya kadangkala percaya kadangkala tidak dengan lembaga survei. Sebab mereka selalu memojokkan partai Islam atau suara umat Islam. Menurut saya, hasil survei harus dijadikan pelajaran oleh semua pihak terutama partai Islam, dimana harus ada perjuangan yang kuat. Saya berharap kalau sekarang musim koalisi, maka partai Islam seperti PKS, PMB, PAN , PBB, PPP, PKB, PKNU, PBR dan PPNUI harus melakukan koalisi besar.

Kalau PPP berkoalisi dengan PDIP rasanya platformnya yang kata elitenya sama, tetapi tetap berbeda di level grass-roots. PPP jangan bikin koalisi golden triangle dengan PDIP dan Golkar, PPP harus keluar dari koalisi semacam itu. Jangan hanya kekuasaan yang dilihat, tetapi harus dilihat, apa betul dengan kekuasaan kita dapat melaksanakan syariat Islam. Kecuali kalau memang PPP sudah tidak ingin lagi melaksanakan syariat Islam, hanya sekedar ingin mendapatkan kekuasaan. Menurut saya, PPP cocoknya berkoalisi dengan partai Islam, bukan dengan PDIP atau Golkar.



Apakah koalisi besar parpol Islam itu dalam rangka pilpres ? Sebab kalau untuk pemilu legislatif rasanya sudah tidak mungkin lagi menginggat waktu sudah mendesak.

Saya kira untuk dua hal. Pertama, untuk pilpres. Kedua, untuk membentuk pemerintahan yang kuat. Syukur-syukur kalau pilpres dimenangkan oleh partai yang didukung umat Islam. Tetapi juga pemerintah yang kuat, dimana para menteri anggota kabinet betul betul dipilih dari mereka yang mempunyai wawasan, landasan, berkekuatan untuk ber Islam. Jadi koalisi kedepan untuk pilpres dan koalisi untuk membentuk pemerintahan yang kuat.

Para menteri harus orang-orang yang berpihak kepada syariah. Indonesia harus dipimpin oleh orang-orang yang memiliki komitmen kuat kepada syariah. Presiden, wakil presiden dan para menterinya harus memiliki komitmen kuat kepada syariah. Sekarang kita harus jujur, bahwa sistim apapun tidak akan bisa kita bangun dengan baik jika sistim itu bertentangan dengan nilai nilai Illahi dan Islam.

Apalagi dalam bidang ekonomi, jelas sekali sistim ekonomi kapitalisme dan materialisme sekarang telah gagal dan harus diganti dengan sistim ekonomi Islam. Hukum sekarang juga sangat tidak jelas, tidak sekedar pada prakteknya saja, tetapi juga diktum hukum dalam KUHP pidana maupun perdata dan dalam undang-undang. Memang harus diganti kepada hal yang bersemangat dengan Islam.

Jadi saya berharap, presiden yang terpilih nanti berpihak pada syariah dan para menteri juga berpihak pada syariah. Kenapa ? karena harus diyakinkan betul bahwa sistim syariah itu untuk kebaikan. Karena selama ini terus diimejkan bahwa syariah itu potong tangan dan berbagai hal yang mengerikan. Padahal yang namanya syariah itu berkaitan dengan kemakmuran, keadilan, persamaan, pemerintahan yang kuat, transparansi dan sebagainya.



Kalau sampai terbentuk koalisi besar partai Islam, apakah harus memiliki pasangan capres dan cawapres sendiri ?
Wajib dan harus dicoba ! Kalau memang suara partai Islam signifikan diatas 20 persen, maka mereka harus berkoalisi dan memilih presiden dan wakil presiden yang tidak akan mengecewakan karena akhlaknya, pribadinya, perilakunya, keluarganya baik, juga yang baik cara pandangnya.Adapun yang terpenting adalah tidak tergantung sama AS. Karena kalau terlalu tergantung sama AS, nanti kurang takut sama Allah SWT. Takut sama AS seperti takut sama apa begitu. Padahal AS sekarang adalah negara yang morat marit dan porak poranda, sehingga sudah tidak bisa diharapkan lagi, dimana hanya image saja negara adidaya dan adikuasa, padahal sebenarnya sudah hancur, dimana pengangguran disana banyak dan hutangnya besar. Maka setiap stimulus yang diberikan sekarang, tidak akan mampu mengembalikan kekuatan AS.

Karena itu jika nanti ada yang terpilih menjadi presiden atau wakil presiden dari partai Islam, harus memiliki kesungguhan komitmen kekuatan aqidah yang istiqomah dan konsisten; jangan yang berbau syirik, klenik atau perdukunan. Itu semua melemahkan keimanan dan tidak percaya diri. Kalau sudah takut sama dukun berarti takut sama orang. Presiden yang akan datang harus presiden yang tidak berdukun. Presiden yang betul betuk memiliki keyakinan kuat beribadah dan meminta pertolongan hanya kepada Allah SWT.



Kalau ternyata nanti partai Islam berhasil memenangkan pemilu legislatif dan pilpres, apakah syariat Islam harus diberlakukan di Indonesia ?
Saya kira harus, walaupun namanya bisa langsung syariah atau lainnya. Tetapi prinsipnya harus diberlakukan syariah Islam. Misalnya, ekonomi tidak harus dengan nama ekonomi Islam atau ekonomi syariah, tetapi bisa ekonomi kerakyatan, ekonomi keadilan dan sebagainya. Tetapi prinsipnya, hatus berdasarkan pada asas Islam, atau namanya syariat Islam secara langsung tetapi diperjuangkan melalui undang undang secara elegan dan terbuka. Seperti adanya UU Zakat, Haji, Sukuk dan Perbankan Syariah semuanya lewat DPR. Ketika syariah Islam diberlakukan dengan cara-cara yang sesuai aturan, itu yang harus kita tempuh. Saya yakin kita sepakat untuk semuanya itu.



Jika syariah Islam berlaku di Indonesia, apakah tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan Pancasila ?

Tidak sama sekali ! karena UUD 1945 pembukaannya dengan jelas sekali mengatakan “Atas berkat rahmat Allah”. Sedangkan Pancasila kan Ketuhanan Yang Maha Esa, saya kira itu syariah Islam bagi orang Islam. Saya kira tidak perlu ragu ragu lagi, itu sudah masa lalu. Kalau kita bersyariah Islam maka akan bertentangan dengan UUD 1945 dan Pancasila, itu sudah warisan zaman dulu yang harus kita tinggalkan. Menurut saya itu hanya masa lalu saja, selama diperjuangkan dengan elegan sesuai dengan undang undang, maka kita tidak perlu takut untuk menghadapinya. (Abdul Halim/www.suara-islam.com)

Minggu, 05 April 2009

PBB Yakin Peroleh Tujuh Juta Suara

Republika, Senin, 06 April 2009 pukul 22:54:00


MATARAM-- Partai Bulan Bintang (PBB) percaya diri akan dapat memperoleh tujuh juta suara dalam pemilu legislatif nanti. Hal tersebut karena adanya tambahan dukungan dari berbagai kelompok masyarakat.

"Insya Allah kita akan mendapatkan suara dalam pemilu legislatif tidak kurang dari tujuh juta," ujar Ketua Umum PBB, MS Kaban, saat berorasi di hadapan puluhan ribu pendukungnya di Lapangan Nasional Selong, Kabupaten Lombok Timur, Ahad (5/4). Padahal, dalam orasi sebelumnya, Kaban mengatakan, PBB hanya menargetkan empat juta suara.

Ia menyatakan, beberapa tambahan dukungan berasal dari beberapa kelompok Islam, seperti Majelis Tafsir Al-Qur'an dan Kelompok Asy-Syahadatain yang beranggotakan jutaan orang.

Jika suara PBB mencapai angka itu, partai tersebut akan lolos parliamentary treshold dan calegnya bisa duduk di lembaga legislatif. Bertambahnya dukungan, kata Kaban, juga tak lepas dari tetap berpegang teguhnya PBB pada syariat Islam yang telah menjadi prinsip dasar partai tersebut sejak lahir.

Wakil Ketua Umum PBB, Hamdan Zoelva juga mengatakan, di tengah banyaknya partai politik (parpol) berhaluan kanan yang menggeser ideologinya agak ke tengah, Partai Bulan Bintang (PBB) akan tetap menjadi parpol Islam berhaluan kanan. Konsistennya sikap PBB tersebut malah membuat massa pendukungnya bertambah di sejumlah daerah.

"Biarlah orang menganggap kami ini partai konservatif, kami menerimanya," katanya. Menurut Hamdan, banyak parpol sekarang yang masuk ke tataran politik yang pragmatis. Mereka rela meninggalkan ideologinya demi mendapatkan dukungan massa yang lebih banyak tanpa memerinci nama parpol yang dimaksud.

Dalam orasinya, Kaban juga mengajak para kader dan simpatisan PBB tidak langsung meninggalkan lokasi tempat pemungutan suara (TPS) setelah memberikan suara, namun mengikuti prosesnya hingga akhir penghitungan suara agar tidak ada manipulasi.

"Saya minta agar para kader serta simpatisan PBB mau menunggu hingga selesai dihitungnya perolehan suara. Hal itu untuk menekan kemungkinan timbulnya manipulasi suara pada proses penghitungan," ujar Kaban.

Acara puncak kampanye nasional PBB kemarin juga dihadiri Sekjen PBB Sahar L Hasan, Wakil Ketua Umum PBB Hamdan Zoelva, sejumlah calon anggota legislatif (caleg) DPR, DPRD provinsi, dan kabupaten/kota. Selepas para petinggi PBB memberikan orasinya, massa beratribut hijau-putih tersebut pulang ke rumah dengan tertib. nan
(-)

Yusril: Kebijakan Pemerintah dapat Picu Kemiskinan



Antara - Senin, April 6

Pangkalpinang (ANTARA) - Ketua Majelis Syuro DPP Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra menyatakan, kebijakan pemerintah yang salah dapat memicu kemiskinan di masyarakat.ADVERTISEMENT



"Banyak kebijakan pemerintah yang salah, sehingga memicu terjadinya kemiskinan di masyarakat," kata Yusril dalam kampanye terbuka PBB di Pangkalpinang, Babel, Minggu.

Menurut dia, sejumlah kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, seperti kebijakan ekonomi, pertanian, kelautan dan pembangunan infrastruktur salah arah dan terkesan coba-coba , sehingga rakyat yang menjadi korban.

"Tidak satupun masyarakat yang menginginkan hidup dalam kemiskinan, kemiskinan bukan karena nasib atau ditakdirkan menjadi orang miskin. Kemiskinan itu terkait dengan infrastruktur dan kebijakan pemerintah atau negara," katanya.

Ia menyatakan, negara ini memiliki uang cukup banyak yang datang dari berbagai sumber, seperti dari retribusi, pajak dan cukai namun belum mampu memberikan kemakmuran bagi rakyat.

"PBB tidak setuju adanya kebijakan pemerintah atau negara yang memungut pajak terlalu besar kepada rakyat karena itu mencekik kehidupan rakyat," katanya.

Kebijakan perpajakan di negeri ini, kata dia, sangat keterlaluan dan mencekik kehidupan masyarakat kalangan bawah.

"Masyarakat miskin beli indomie, rokok dan sejumlah kebutuhan lainnya di toko juga terkena pajak, sehingga membuat kehidupannya semakin miskin. Bukan rakyat ingin miskin, tetapi pemerintah punya andil terjadinya kemiskinan akibat kebijakan yang tidak memihak kepada rakyat," katanya.

Bahkan, kata dia, pajak bumi dan bangunan (PBB) saja terus naik sehingga dikeluhkan masyarakat.

"Tidak ada bedanya antara orang miskin dan kaya, semuanya kena pajak. Sudah pensiun, tidak punya pekerjaan alias pengangguran juga dipungut pajak. Ini kebijakan pemerintah yang membuat rakyat miskin dan memberontak," katanya.

Kebijakan ekonomi negara, kata dia, juga belum memihak kepada rakyat kecil melainkan kepada kalangan kaya atau para pengusaha.

"PBB bertekad kebijakan perekonomian harus mengarah kepada masyarakat kecil seperti petani, nelayan dan para buruh agar mereka bisa keluar dari belenggu kemiskinan dan sejahtera," katanya.

Kampanye di NTB




SELONG, 5/4 - SIMPATISAN PBB. Seorang simpatisan Partai Bulan Bintang (PBB) membawa poster lambang partai tersebut saat kampanye terakhir yang dihadiri puluhan ribu massa di Lapangan umum Selong, Lombok Timur, NTB, Minggu (5/4).Dalam orasi politiknya Kaban mengatakan PBB akan memperjuangkan anggaran pendidikan yang menyentuh pendidikan islam, menurunkan pajak, menaikkan gaji TNI, Polri dan Pegawai Sipil hingga 200 persen dan menyiapkan hukum pidana nasional yang berasaskan syariat islam. FOTO ANTARA/Ahmad Subaidi/pd/09