Jumat, 16 Januari 2009

Sejam Bersama Nasrallah


Sejam Bersama Nasrallah


Oleh Ferry Kisihandi

Telepon di kamar Ketua DPR RI, Agung Laksono, berdering. Saat itu adalah hari Kamis (8/1) pukul 23.30 waktu Beirut, Lebanon. Sejatinya, Agung yang menempati kamar 244/245 Hotel JW Marriott, Beirut, akan beranjak tidur. Kantuk membalut matanya setelah acara seharian penuh.Dengan tenaga sisa yang ada, Agung mengangkat telepon. Di ujung sana, anggota DPR, Abdillah Toha, berbicara. ''Pak Toha mengajak silaturahim dengan seorang yang penting. Saya bertanya siapa? Pak Toha menjawab, pemimpin Hizbullah, Hassan Nasrallah,'' katanya.

Rasa kantuk pun pudar. Agung langsung terbayang wajah Hassan Nasrallah, orang nomor wahid yang diincar Amerika Serikat (AS) dan Israel. Keraguan sempat merasuk meski akhirnya dia memutuskan menerima ajakan bertemu Nasrallah.Menjelang tengah malam itu, Agung ditemani Toha dan Ketua Parlemen Suriah, Mahmoud Al-Abrache, meninggalkan hotel dengan mobil penjemput yang telah menunggu. Perjalanan menuju tempat persembunyian Nasrallah pun dimulai.

Tiga kali mereka harus berganti mobil sebelum akhirnya sampai di tempat Nasrallah. Di dalam mobil, mereka tak tahu arah dan wilayah yang sedang dituju.Hingga akhirnya, mobil terakhir yang membawa mereka berhenti di parkir bawah tanah sebuah gedung. Bergegas, mereka menuju atas, ruangan di mana Nasrallah berada.
Di sebuah ruangan berukuran 4x6 meter, Nasrallah menunggu. Pemimpin tertinggi gerakan Hizbullah yang membuat serdadu Israel kalang kabut saat peperangan medio 2006 lalu itu ditemani Ketua Parlemen Iran, Ali Larijani.

''Nasrallah menyambut kami dengan baik. Ia sangat sopan dan tutur katanya santun. Kami langsung ditawari minuman dan makanan yang tersedia. Sebelumnya, saya membayangkan, Nasrallah bermuka sangar. Tapi, ternyata tidak. Dia lembut,'' ungkap Agung menggambarkan pertemuannya itu.Dalam suasana hangat dan bersahabat, Nasrallah pun bertukar kisah. Masalah utama yang sekarang dihadapi di Jalur Gaza adalah persoalan kemanusiaan. Dari arah mana pun, Gaza telah tertutup, termasuk dari Rafah, perbatasan dengan Mesir.

Kondisi itu menghambat masuknya bantuan kemanusiaan ke Gaza. Tak hanya itu, Hamas juga terkendala untuk melakukan perlawanan total. ''Sangat berbeda kondisinya ketika Hizbullah berhasil memukul mundur Israel pada 2006,'' katanya.Ketika itu, pejuang Hizbullah mampu berkonsentrasi penuh. Apalagi, istri dan anak-anak mereka serta warga sipil telah meninggalkan medan pertempuran menuju Suriah.

Kekhawatiran korban dari warga sipil dapat dikesampingkan. Hingga akhirnya, Hizbullah mengakhiri gempuran Israel dalam 32 hari pertempuran. Kendati, peperangan itu harus dibayar mahal dengan tewasnya 3.000 warga Lebanon.Apa yang dialami Hizbullah jauh berbeda dengan kondisi Hamas menghadapi Israel saat ini. Warga sipil dan keluarga mereka masih tertahan di Gaza. Blokade Israel menyebabkan mereka tidak dapat meninggalkan Gaza, tak terkecuali pintu perbatasan di Rafah.

Konsentrasi Hamas pun terbelah dua: melawan gempuran serdadu Israel dan memikirkan keselamatan keluarga serta warga sipil agar tidak menjadi korban.Kesulitan Hamas itu, ungkap Nasrallah, tak terlepas dari peran Mesir. Mesir mesti ikut bertanggung jawab. Nasrallah bahkan menuding Mesir berkomplot dengan penjajah Israel untuk tetap menutup perbatasan Rafah.Nasrallah, yang mengenal pejuang-pejuang Hamas di semua tingkatan dan mengetahui lengkap informasi di lapangan, meyakini Hamas akan terus melawan. ''Saya yakin akan kemampuan Hamas. Hamas mampu mengatasi masalah yang ada,'' katanya.

Militer Israel yang dikenal tangguh, bukannya tanpa cacat. Nasrallah menyebut, serdadu negara zionis itu tak bakalan mampu jika peperangan berlangsung lama. Apalagi, bila korban telah berjatuhan, moral serdadu Israel langsung turun.''Hamas harus terus berjuang dengan penuh kesabaran. Saya yakin, Hamas pada akhirnya akan meraih kemenangan. Kami akan terus mendukung perjuangan Hamas untuk mencapai kemerdekaan Palestina,'' kata Nasrallah.

Dalam pandangannya, penyelesaian Gaza kecil kemungkinan melalui jalur diplomasi walaupun jalan politis itu terus digalang berbagai kalangan. Alasannya, Israel hanya memiliki satu bahasa, yakni kekerasan. Nasrallah lantas mengungkapkan, selama gencatan senjata antara Hamas dan Israel dari 19 Juni 2008 sampai 19 Desember lalu, suasana di Gaza memang tenang. Tapi, apa yang dilakukan Israel dalam masa itu? Pejuang Hamas yang berada di wilayah Tepi Barat justru ditumpas. Pejuang Hamas yang berada di Gaza, jelasnya, tentu tak bisa membantu saudara mereka di Tepi Barat yang diserang.

Perjanjian gencatan senjata selama enam bulan itu membelenggu Hamas. Dalam hal ini, Hamas malah mematuhi perjanjian. ''Israel yang justru melanggar gencatan senjata.''Kesempatan itu juga dijadikan ajang keluhan Nasrallah atas perpecahan negara-negara Arab. Tidak ada kesatuan sikap mengakhiri agresi Israel ke Gaza.Keprihatinan Nasrallah juga karena perpecahan di internal Palestina. Faksi-faksi perlawanan yang ada belum mampu menyatukan kekuatan dan langkah mewujudkan cita-cita Palestina merdeka.

Bukan tak mungkin, jika perpecahan itu tidak bisa diredam, Palestina merdeka hanyalah angan-angan. Dia mendorong semua pihak segera bersatu.Bagaimana kebijakan AS di bawah Presiden Barack Obama? Nasrallah tak yakin bakal ada perubahan signifikan di Timur Tengah, khususnya konflik Israel-Palestina.
Pesimismenya karena hanya terjadi pergantian individu, dari George W Bush ke Obama, bukan perubahan struktur. Nasrallah pun tak yakin bakal ada perubahan struktur.

Dengan kata lain, AS bakal terus mendukung Israel. Kalaupun akhirnya Obama berbicara dengan Hamas, konteksnya tidak dalam kedudukan sejajar. ''Dia (Obama) akan berbicara dengan singkat dan isinya menekankan agar Hamas menerima Israel.''Ini sama artinya dengan, siapa pun presiden AS, kebijakan negara itu tak akan berubah. Pembelaan dan perlindungan terhadap sekutu terdekatnya itu tetap diberikan.

Bantuan dan dukungan rakyat Indonesia atas perjuangan rakyat Palestina menuju kemerdekaan diapresiasi Nasrallah. ''Saya berterima kasih atas dukungan rakyat Indonesia pada perjuangan Palestina.''Satu jam berlalu, beranjak dari pukul 01.00, perbincangan pun disudahi. Agung, Toha, Al-Abrache, dan Larijani meninggalkan ruangan. Mereka kembali ke hotel, menembus malam Beirut.

''Selama pertemuan itu, hati saya berdebar. Bagaimana jika ada yang menyerbu masuk dan menembaki kami,'' kata Agung. Bagi Agung, ini kali pertama bertemu Nasrallah. Bagi Toha, ini kali kedua setelah Oktober 2007 lalu.Kantuk dan lelah semakin membalut mata dan tubuh. Namun, apakah warga Gaza masih bisa nyenyak dalam peraduannya?

(Republika, Sabtu, 17 Januari 2009)

Tidak ada komentar: