Senin, 09 Maret 2009

Yusril Ihza Mahendra, Tak Lelah Tegakkan Syariat Islam


Meski perjuangan mengembalikan Piagam Jakarta dalam UUD 45 belum berhasil, namun perjuangan menerapkan syariat Islam dalam regulasi negara tetap harus dilakukan. “Ada atau tidak ada ada Piagam Jakarta, syariat Islam harus tetap dilaksanakan” ungkap mantan Menteri Sekretaris Negara Kabinet Indonesia Bersatu (KIB), Prof Dr Yusril Ihza Mahendra SH MSc, saat berada di Surabaya beberapa minggu lalu.
“Tugas kita saat ini adalah merumuskan peraturan negara yang bersumber dari syariat” lanjut Yusril. Upaya itu selalu dilakukan oleh guru besar hukum tata negara Universitas Indonesia (UI) tersebut, baik saat menjabat menteri kehakiman dalam pemerintahan KH Abdurrahman Wachid dan Megawati Soekarno Putri atau Mensesneg era SBY-Jusuf Kalla.
“UU Kepailitan yang kita pakai sekarang ini sebenarnya bersumber dari syariat Islam, tapi tidak banyak orang yang tahu” ujar Yusril. Yusril menceritakan, saat dirinya membahas RUU Kepailitan bersama DPR, ia tidak mengatakan bahwa rumusan RUU tersebut diambilnya dari nilai-nilai Islam. “Jika sejak awal saya katakana, pasti bisa geger DPR” katanya.
Alhasil, ketika semua fraksi di DPR sudah menyepakati RUU tersebut, semua yang hadir di Senayan, termasuk konglomerat Cina, bertepuk tangan dan menyambutnya dengan gembira. “Tapi dalam sambutan setelah pengesahan saya katakan UU itu saya buat dari ajaran Islam, semua yang hadir langsung melonggo. Mereka pikir syariat Islam itu cuma potong tangan. Padahal syariat Islam itu luas, mencakup semua hal termasuk ekonomi” kata alumnus Universiti Sains Malaysia (USM) itu.
Selain membuat rumusan UU yang sesuai Islam, Yusril juga mengusulkan diterapkannya syariat Islam secara kaffah di Aceh. Bahkan, nama Naggroe Aceh Darussalam (NAD) merupakan ide Yusril.
“Saya katakan pada Gus Dur, jika kita ingin mengalahkan GAM, kita harus merebut hati ulama Aceh” kata menteri kehakiman era Gus Dur itu. “Gimana caranya?” tanya Gus Dur. “Gus Dur harus merestui penerapan syariat Islam di Aceh” jawab Yusril. “Terserah Pak Yusril saja, yang penting Aceh jangan merdeka” lanjut Gus Dur.
Setelah mendapat persetujuan presiden, Yusril pergi ke Aceh bersama MS Ka’ban (Menteri Kehutanan era SBY-Kalla) dan mengadakan pertemuan dengan ulama-ulama Aceh. Dalam pertemuan inilah para ulama menerima solusi yang ditawarkan Yusril.
“Awalnya saya mengusulkan nama Negeri Aceh Darussalam, tapi para ulama minta menggunakan bahasa Aceh, akhirnya jadi Nanggroe Aceh Darussalam” pungkas pria yang pernah menjadi kondektur bis kota saat masih kuliah di UI itu. (Fata).

Tidak ada komentar: