Jumat, 03 April 2009

Harap-harap Cemas Menanti Pinangan

(www.suara-islam.com)
Thursday, 12 March 2009

Polarisasi politik menjelang Pemilu 2009 masih bertumpu pada Partai Golkar, PDI Perjuangan dan individu SBY. Partai-partai Islam hanya jadi pelengkap. Haruskah mereka menempuh langkah pragmatis?

Empat pendingin ruangan di lantai dasar Kantor Pusat Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Jalan Warung Buncit, Jakarta Selatan, Kamis (26/2) malam lalu, benar-benar kewalahan. Hembusan anginnya nyaris tak terasa dingin. Apalagi di tengah kerumunan lima puluhan lebih wartawan online, cetak dan elektronik yang memenuhi ruang itu. Belum lagi belasan kamera televisi berikut segala perangkat suara dan tata cahaya yang memenuh-menuhi ruangan.

Udara pengap, peluh pun mulai meleleh. Namun, para wartawan itu tetap sabar merekam, mencatat dan mengabadikan momentum politik penting ini hingga usai. Nyaris tak ada satu pun pembicaraan, gelak tawa, dan ekspresi yang terlewatkan. Sebab, malam itu Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam kapasitas sebagai Ketua Umum Partai Golkar, bertandang ke kantor PKS setelah beberapa kali jadwal pertemuan mereka digeser. Mohon dimaklumi, jadwal kesibukan saudagar dari Watampone, Sulawesi Selatan itu memang padat luar biasa.

Namun kepengapan itu sedikit disegarkan acara berbalas pantun Presiden PKS Tifatul Sembiring dengan Kalla. “Kalau datang ke Kota Padang, mampir ke Solok membeli beras. Kalau JK datang ke Mampang, maka isyarat makin jelas,” kata Tifatul membuka pidatonya. Tawa riuh dan tepuk tangan meningkahinya. Ketua MPR Hidayat Nurwahid yang diduetkan dengan Kalla dalam diskusi bertajuk ‘Ke Arah Mana Koalisi Pasca Pemilu Legislatif 2009’ itu pun tertawa.

Kalla tak mau kalah. Ia segera membalas sambutan dengan pantun pula. “Saya orang Sumando, harus dibalas pantunnya,” ujarnya. Lalu, terlontarlah pantun dari mulutnya, “Buka ladang bukan sembarang ladang. Di ladang banyak jerami. Bukan datang sembarang datang, datang untuk erat silaturahmi.” Tawa hadirin sontak terdengar dan diskusi pun lancar mengalir.

Manuver Balasan Kalla

Kedatangan puluhan wartawan ke markas PKS tentu bukan tanpa alasan. Selain karena silaturrahim ini adalah pertemuan pertama kedua elit partai menjelang pemilu 2009, hajatan besar demokrasi itu hanya tinggal satu setengah bulan lagi. Padahal, berbagai dinamika politik telah terjadi dalam dua minggu terakhir. Karena itu, para pengamat menduga bakal ada perkembangan menarik pasca pertemuan Mampang ini.
Silaturahmi petinggi Golkar dengan PKS ini dinilai sebagai upaya PKS menangkap peluang politik. Maklumlah, selama ini PKS adalah partai yang paling lincah bermanuver, meski kadang manuvernya “menyerimpung kaki sendiri”, seperti kasus iklan Soeharto, iklan berita perseteruan elit politik, maupun statemen bahwa PKS tidak akan membawa isu usang penegakan Syariah. “PKS menjajaki koalisi dengan Kalla dan Golkar,” kata pengamat politik Universitas Indonesia, Arbi Sanit.

Peluang mengirim sinyal koalisi ke Partai Golkar mulai terbuka saat sepekan sebelumnya Kalla menyatakan siap maju ke pentas pemilihan presiden pada pemilu 2009. Kesiapan menjadi calon presiden itu dinyatakan Kalla setelah serombongan pengurus daerah Partai Golkar bertandang ke rumah dinas Wakil Presiden di jalan Diponegoro 1 Jakarta Pusat. “Sebagai seorang Kader Golkar, saya harus siap,” kata Kalla dalam konferensi persnya di Kantor Wakil Presiden di Jakarta, Jumat (20/02) lalu.

Tak ada asap jika tak ada api. Dan api kesiapan Kalla menjadi calon presiden itu adalah pernyataan Wakil Ketua Partai Demokrat Ahmad Mubarok. Dalam wawancaranya dengan Vivanews.com, Guru Besar Univesitas Indonesia ini mengatakan bahwa Partai Demokrat akan berkoalisi dengan parpol lain, bila suara Partai Golkar dalam Pemilu Legislatif 2009 jatuh. “Bisa jadi Golkar hanya akan memperoleh 2,5 persen suara,” ujarnya.

Pernyataan soal kemungkinan anjlognya perolehan suara Golkar membuat Kalla marah. “Tak mungkin suara Partai Golkar turun signifikan,” ujarnya saat di Den Haag, Belanda. Para petinggi Golkar pun kebakaran jenggot. Dalam logika mereka, perolehan suara 2,5 persen itu tak mungkin terjadi. Meskipun sudah melebihi electoral threshold, mereka menganggap angka itu hanya “seupil”. “Itu namanya ngenyek,” kata Ketua Golkar Agung Laksono.

Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat memang sudah menegur Mubarok. Tapi suasana sudah memburuk. Apalagi Kalla kemudian menyatakan bersedia maju sebagai calon presiden. Maka ketika Kalla bertemu Yudhoyono, Ahad malam (22/2), kekakuan terasa. Meski menurut Juru Bicara Presiden Andi Mallarangeng, pertemuan berlangsung akrab, sumber Suara Islam mengatakan bahwa pertemuan itu sangat formal.

Dalam pertemuan itu Kalla pun menjelaskan posisinya sebagai Ketua Partai Golkar yang harus menyerap aspirasi konstituennya. Karena itu dia harus menyatakan siap untuk dicalonkan menjadi presiden. Namun, Kalla menyatakan untuk tetap bekerjasama dengan SBY hingga akhir masa Kabinet Indonesia Bersatu. “Ini baru pertama kali terjadi dalam sejarah republik ini,” kata Andi mencoba meyakinkan para wartawan soal komitmen SBY – JK, seusai pertemuan itu.

Para petinggi Partai Golkar kini mulai faham bahwa langkah-langkah Demokrat ternyata bukan kepleset biasa. Munculnya nama Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati lewat mulut Ketua DPP Partai Demokrat Ruhut Sitompul sebagai calon wakil presiden SBY, hingga keseleo lidah ala Mubarok, dinilai sebagai manuver Demokrat untuk menjaga jarak dengan Golkar. “Ini langkah SBY untuk test the water,” kata seorang mantan anggota tim sukses SBY.

Betapa tidak tak disengaja, jika ketika berbagai kepingan peristiwa dirangkai, ternyata memunculkan fakta yang tak terbantahkan. Dalam pengerekan nama Sri Mulyani misalnya, Ruhut mengatakan bahwa usul itu berasal dari Jaringan Nusantara. Sementara, kelompok kepemudaan bernama Jaringan Nusantara ini dipimpin tokoh-tokoh aktifis kampus di era 90-an yang dikenal sangat dekat dengan SBY.

Beberapa tokoh Jaringan Nusantara itu adalah mantan Ketua Solidaritas Mahasiswa Indonesia Untuk Demokrasi (SMID) Andi Arief, Aam Sapulete dan Herry Sebayang. “Mereka dekat dengan SBY sejak masih di Jogja,” kata seorang mantan aktifis SMID, kawan mereka. Pengerekan nama Sri Mulyani pun didorong harian Rakyat Merdeka, milik Grup Jawa Pos pimpinan Dahlan Iskan yang kini sangat berpihak kepada SBY.
Kasus serupa terlihat pada kasus slip of tongue Mubarok. Sebab, pewawancara Mubarok adalah Vivanews.com, sebuah media online milik keluarga Bakrie yang dipimpin Mallarangeng Bersaudara: Rizal Mallarangeng dan Coel Mallarangeng. Tentu bukan kebetulan jika Coel juga memimpin Bravo Media Centre, yang menangani PR untuk SBY dan Partai Demokrat. Meski angka 2,5 persen berawal dari pertanyaan sang reporter, namun Mubarok menindaklanjuti analisanya dengan tangkas, seperti telah direncanakan sebelumnya.

Kesediaan Kalla menjadi calon presiden sebenarnya juga tidak hanya didasarkan desakan para pengurus daerah Partai Golkar. Kesediaan Kalla untuk maju ini dinilai sebagai strategi untuk menyelamatkan pamor Partai Beringin ini. “Ini sangat penting untuk konsolidasi partai, dalam rangka memenangkan pemilu legislatif,” kata pengamat politik dari Universitas Airlangga, Kacung Marijan.

Selain itu, menurut sumber Suara Islam, dengan menyatakan siap mencalonkan diri sebagai presiden, Kalla sebenarnya sedang membuat manuver balasan. Sasarannya tentu saja ke Demokrat dan SBY. Sebab, saat berangkat ke Amerika Serikat untuk berobat beberapa waktu lalu, ia diisukan menderita kanker otak. “Berita itu menyebar ke elit Demokrat, Golkar dan Kabinet,” kata seorang perwira intelijen. Konon penyebarnya adalah orang-orang SBY dengan tujuan memecah kekuatan Golkar.

Kalla sempat shock saat mengetahui diagnosa awal. Tapi tonjolan daging semacam kutil itu akhirnya berhasil diangkat di klinik Mayo Amerika Serikat, dan dia tidak terbukti menderita kanker otak. Padahal upaya menggoyang Golkar dan memisahkan Kalla sudah terjadi, misalnya kasus Mubarok dan Sri Mulyani. Maka sesampai di tanah air, Kalla bermanuver dan membuat SBY kelimpungan. “Ini urusan harga diri,” kata Kalla pekan lalu saat ditanya soal kesediaannya maju sebagai calon presiden. Ini diterjemahkan sumber Suara Islam sebagai bentuk perhitungan Kalla.

Kekuatan Golkar

Menurut aturan organisasi, sebenarnya saat ini belum saatnya bagi Partai Golkar untuk menyebut seorang calon presiden. Baru dalam Rapimnas pasca pemilu legislatif nanti disaring 7 nama Calon Presidan dari Partai Golkar. Lewat survey ke DPD-DPD, Kalla berharap akan memenangkan “konvensi” untuk maju secara resmi dari Golkar, pasca pemilu legislatif nanti. Namun, pernyataan Kalla bersedia menjadi calon presiden pekan lalu cukup membuat konstelasi politik internal Partai Golkar maupun di panggung politik tanah air semakin dinamis.

Desakan DPD-DPD I Golkar ke Kalla itu paling telah mengembalikan Golkar ke rol utama pembicaraan koalisi pasca pemilu legislatif nanti. “Dengan terlepas dari keterikatan duet dengan SBY, sebagai partai tertua dan terbesar, Partai Golkar akan sangat diperhitungkan, dalam hitung-hitungan koalisi menjelang pencalonan presiden,” kata Arbi. Maklumlah, kini ada aturan presidential threshold yang cukup ketat.

Presidential threshold adalah syarat dukungan partai politik atau gabungan partai politik sebesar 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional untuk dapat mengajukan calon presiden dan wakil presiden. Aturan ini terdapat dalam Pasal 9 UU Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang dikukuhkan Mahkamah Konstitusi, 18 Februari lalu. Gugatan judicial review terhadap aturan ini ditolak MK. “Pasal ini tidak bertentangan dengan UUD 1945,” kata Ketua Majelis Hakim Konstitusi, Moh Mahfud MD.

Dengan adanya UU ini, jika dihitung sesuai dengan hasil pemilu 2004, maka hanya Golkar dan PDI Perjuangan saja yang bisa melenggang sendiri mengajukan pasangan presiden dan wakil presiden. Partai-partai lain, termasuk Partai Demokrat, PKS, PPP, PKB, dan partai-partai lainnya harus bergandengan tangan dalam koalisi permanen agar bisa mengajukan calon presiden dan wakil presiden. “Dalam hitungan seperti ini, mereka harus berkoalisi,” kata Arbi.

Sri Sultan Hamengkubuwono X dinilai sebagai rival terberat Kalla. Meski telah menyatakan maju sebagai calon presiden sejak beberapa bulan lalu, namun ia tetap berharap pada konstituen Golkar terutama di Jawa. “Saya tetap kader Golkar,” kata Sultan di rumahnya di jalan Suwiryo, Jakarta Pusat pekan lalu. Karena itu, ia pun diperhitungkan sebagai calon kuat dalam survey DPD Golkar untuk menentukan calon presiden nanti.
Ketika Kalla belum menyatakan maju, dukungan DPD Golkar di beberapa daerah ke Sri Sultan ditengarai cukup banyak. Apalagi, sejak dua bulan lalu Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri sudah bertemu dengan Sultan dan menyatakan siap bergandengan tangan dengan Sultan menuju pemilu presiden nanti. “Bahkan jika dalam pemilu nanti Golkar memperoleh suara terbanyak, Mega mempersilakan Sultan untuk menjadi Presiden dalam koalisi itu,” kata mantan tokoh PDIP Suko Sudarso. Artinya, PDIP pun menantikan pertempuran Sultan – Kalla dalam merebut dukungan di Golkar.

Namun, setelah Kalla menyatakan bersedia maju menjadi calon presiden, pamor Sultan di Partai Golkar terasa agak mengendor. Sementara, geliat tim suksesnya yang membentuk posko-posko di agak tersendat. Padahal, uang dari konglomerat minyak Arifin Panigoro dan kawan-kawan dari gang sosialis-pro Amerika Serikat, sudah mulai mengucur. Todung Mulia Lubis, Gunawan Muhammad, Marsillam Simandjuntak dan kawan-kawan pun mendukungnya. “Uang itu kemungkinan akan dipakai untuk operasi gizi di Golkar,” kata seorang Sumber Suara Islam.

Kini strategi Kalla adalah memperkuat basis dukungannya ke elit politik maupun ke grassroot Golkar. Untuk kalangan grassroot Golkar, Kalla mengandalkan kekuatan massa luar Jawa, terutama di kawasan Indonesia Timur. Maka tak heran jika sejak Sabtu (28/2) lalu ia memulai kunjungan ke Sulawesi Selatan, basis masanya, untuk memulai kampanye ‘JK for President’. “Dukungan suara dari kader Partai Golkar untuk JK sebagai capres, bisa mencapai 90 persen,” kata pengamat politik dari Universitas Indonesia, Maswadi Rauf.
Untuk kalangan elit Golkar, Kalla pun terus menggalang kekuatan. Untuk memperkuat dukungan di lingkar elit Golkar, Kalla masih sangat yakin bahwa “faktor gizi” akan lebih banyak berpengaruh. Selain memasang Syamsul Muarif, Ahmad Nur Supit dan Firman Subagyo sebagai jangkar di Golkar, Kalla pun mengutus Aksa Mahmud dan Alwi Hamu, dua orang dekatnya untuk bergerak bersama tim lembang 9, tim suksesnya. Dalam hitungan Kalla, dia bakal menang dalam survey “konvensi“ nanti.

Karena sudah siap menjadi calon presiden, maka kini Kalla pun berupaya menarik kawan potensial sekaligus mengganggu konstelasi partai lain. Setelah sebelum berangkat ke Amerika Serikat dan Eropa Kalla sempat dikabarkan Panglima Partai Gerindra Prabowo Subiyanto, pekan lalu itulah Kalla memenuhi undangan PKS yang tampaknya sudah ngebet berkoalisi dengan Golkar, pekan lalu.

Meski belum tegas menerima lamaran PKS, tapi manuver Kalla itu cukup membuat kubu SBY deg-degan. Apalagi dengan isu menjodohkan Kalla dengan Hidayat Nurwahid. Sebab, PKS adalah salah satu pendukung utama koalisi SBY-JK dalam pemilu 2004. Maklumlah, dengan suara 7 persen, PKS dapat menyumbang dukungan lumayan. Bila pasangan ini jadi diusung Partai Golkar dan PKS, maka Yudhoyono diprediksi bakal menghadapi kesulitan.

Jika Koalisi Golkar dan PKS, bisa diwujudkan, bukan tak mungkin SBY tidak mendapat pasangan dan koalisi yang serasi untuk memenuhi persyaratan 20 persen kursi parlemen. Selain Menteri Keuangan Sri Mulyani sudah menolak lamarannya, bayang-bayang kegagalan Partai Demokrat mengeruk suara pun masih terjadi, meskipun mereka mematok perolehan suara minimal 22 persen. “Maklumlah, hingga saat ini Demokrat belum juga mandiri dan masih tergantung pada sosok SBY,” kata Arbi.

Padahal, berkoalisi dengan beberapa partai potensial bisa dibilang mustahil. Misalnya koalisi Demokrat dengan PDIP, Demokrat dengan Hanura, maupun Demokrat dengan Gerindra karena ada konflik pribadi yang membatasinya. Namun, SBY masih bisa berharap kepada PPP. Sebab hingga kini partai Ka’bah itu masih bingung menentukan arah, apakah harus merapat ke Kalla atau tetap bersama Demokrat mendukung SBY. Sementara partai modal koalisi SBY dalam Pemilu 2004 lainnya, PBB, malah kepingin mengajukan Mantan Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra sebagai calon presiden.

Koalisi Pragmatis atau Haus Kuasa?

Memang, hingga pekan lalu, kepastian tentang rencana koalisi Golkar dengan PKS belum juga fix. Padahal, para petinggi PKS tampak sudah kebelet banget untuk menjodohkan Kalla dengan Hidayat. Maklumlah, bagi PKS, bakal bercerainya Yudhoyono dengan Kalla membuka peluang bagi kader mereka itu untuk naik ke posisi RI-2. Karena itu pula Ketua Fraksi PKS di DPR Machfudz Siddiq sempat mengatakan bahwa jika Golkar menjadi lokomotif, PKS siap menjadi gerbongnya.

Keinginan PKS ini memang bukan tanpa alasan. Dari berbagai suvey, Hidayat Nurwahid mendapat dukungan cukup tinggi di antara tokoh-tokoh politik yang ada. Ia pun dinilai masyarakat sebagai tokoh yang bersih. Maka, begitu celah terbuka akibat perpecahan SBY – JK, tanpa ragu PKS pun menawarkan Hidayat untuk mendampingi Kalla sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Namun, saat bertemu, Kalla masih tampak menjaga komentarnya. Sementara bagi beberapa elit Golkar yang datang, pertemuan Rabu malam lalu di Kantor DPP PKS itu masih belum berarti apa-apa. Mereka menilai tawaran PKS untuk berkoalisi dalam pemilu presiden nanti masih berada di tahap yang sangat awal. “Semua baru keinginan pak Tifatul,” kata Ketua DPP Golkar Theo Sambuaga. Artinya, Golkar masih belum mempertimbangkan tawaran PKS secara serius.

Sementara itu, sebagian kalangan di PKS menilai rencana koalisi dengan Golkar itu sangat menggelisahkan. Sebab, dari sejarah terbentuknya, PKS sangat diameteral dengan Golkar yang dijadikan alat pemerintah Orde Baru untuk melanggengkan kekuasaan bersama tentara. Justru PKS didirikan dalam upaya mengoreksi kerusakan yang telah dilakukan Orde Baru selama 30 tahun lebih. Tapi ternyata sepuluh tahun pasca reformasi, manuver para elit PKS kini malah lebih sering merapat ke berbagai warisan Orde Baru.

Partai yang dulu mencerca habis kethagutan Soeharto, Golkar dan Orde Baru kini malah kebelet berkoalisi dengan anak kandung Orde Baru itu. Karena itu, beberapa kader senior PKS yang bergabung dalam Forum Kader Peduli, merasa, pertemuan para petinggi PKS dengan Kalla dan elit Golkar Rabu lalu, benar-benar membuat mereka sesak nafas. “Pertemuan itu menunjukkan keinginan elit politik PKS untuk berkuasa, bukan pada kader-kadernya di bawah,” kata Mantan Anggota DPR PKS Mashadi saat ditemui di Masjid Al Hikmah, Sabtu (28/2) lalu..

Keinginan itulah yang bernama hubbus siyadah. Cinta pada kekuasaan. (Abu Zahra/mj/www.suara-islam.com)

Tidak ada komentar: