Jumat, 03 April 2009

Poros Islam Mengapa Tidak

www.suara-islam.com, Thursday, 12 March 2009

Peluang partai Islam meraih 50% suara pada Pemilu 2009 masih terbuka. Syaratnya, solid dan konsisten.

"Kami menyambut positif un¬tuk berkoalisi sesama partai Islam. Karena dengan basis ideologi yang sama, praktis kita punya komitmen sama dalam menyelesaikan persoalan bangsa. Kami sepakat dan siap melebur par¬tai bersama partai Islam lain.

Koalisi menguatkan posisi Islam pada Pilpres 2009. Konstituen di kantong yang sama bisa tergaet. Tidak tertutup kemungkinan jika koalisi ini sukses mengantarkan capres, pada Pemilu 2014 akan ada penyederhanaan partai Islam. Jadi ke depannya, jika partai Islam merger, tidak akan banyak pilihan, yang ada hanya partai kekaryaan, nasionalis, dan Islam saja."

Demikian, betapa indah tuturan Sekjen Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Irgan Chairul Mahfudz, seperti dikutip Rakyat Merdeka (20/7/2008). Ia menyambut gagasan Ketua Umum PP Muhamma¬diyah Prof Din Syamsuddin mengenai koalisi strategis partai Islam.

Koalisi strategis partai-partai Islam yang dimaksudkan Din, tak sekadar koalisi dalam menghadapi pemilihan presiden. Tapi juga dalam menghadapi persoalan-persoalan strategis kebangsaan.

"Koalisi strategis ini merupakan realisasi ukhuwah Islamiyah dan silaturrahim dalam kehidupan politik. Itu adalah ajaran Islam. Mereka yang mendasarkan diri kepada Islam perlu mengamalkannya," kata Din.
Sayangnya, Din menilai, partai-partai Islam atau yang berbasis massa Islam terkesan menyatakan diri berbeda satu sama lain. Padahal sama-sama mengaitkan diri dengan Islam.

Lihat di Pilkada Kalimantan. Pasangan Cornelis-Cristiandy yang Nasrani, memenangi pilgub di Kalimantan Barat yang mayoritas umat Islam 57%. Di Kalimantan Tengah dengan warga muslim 70%, yang terpilih jadi gubernur malah Teras Nerang (Kristen). Ini tak lepas dari ketidak-kompakan partai-partai Islam setempat.
Sehingga, Direktur Indo Barometer M Qodari dalam sebuah diskusi di Warung Daun, Jakarta Selatan (13/12/2008), sempat mengejek bahwa koalisi partai Islam baru akan terwujud kalau sudah di akhirat.
Hmmm, sebegitunyakah?

Entahlah. Yang jelas, meminjam definisi Loewenstein, Politik is nicht anderes als der kamps um die Macht. Politik tidak lain merupakan perjuangan kekuasaan. Dalam sistem demokrasi seperti dianut Indonesia, kekuasaan itu ada di lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Sementara ini, parpol mungkin masih sibuk meminimalisir potensi friksi internal masing-masing. Pasalnya, Mahkamah Konstitusi telah mengabulkan permohonan uji materi terhadap Pasal 214 Undang-undang (UU) No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif. MK membatalkan ketentuan penentuan caleg terpilih berdasarkan nomor urut. Artinya, penentuan ditentukan oleh suara terbanyak. Ini yang membuat kader satu partai bisa ‘’saling bunuh’’.

Tapi masalah itu, tidak boleh membuat parpol jalan di tempat. Sebab, untuk menduduki Istana Negara, UU Pemilihan Presiden mensyaratkan perolehan suara pemilu 25% atau 20% kursi Dewan Perwakilan Rakyat, agar sebuah partai dapat mengajukan capres sendiri.

Walhasil, guna mempresidenkan Hidayat Nurwahid atau Yusril Ihza Mahendra atau Din Syamsuddin, maka partai pendukungnya masing-masing yaitu PKS, PBB, dan PMB, harus meraup 25% suara rakyat dalam Pemilu April 2009.

Sejauh ini, hanya PKS yang berani mematok target 20% suara. Sedangkan PBB, seperti dikemukakan Ketua Umum MS Kaban, realistis saja, yang penting memenuhi electoral treshold. PMB, walau sudah nekad mengusung capres sendiri, juga mesti lebih realistis dari PBB.

Greg Fealy, peneliti Kajian Asia Tenggara Australian National University (ANU) Canberra, saat di Gedung LIPI, Jakarta (6/2/) menyatakan, "Saya memprediksikan suara Partai Islam pada 2009 mendatang tak sampai 20%.’’

Peneliti spesialis kajian Nahdlatul Ulama ini bersandar pada fakta empiris. Ia mengingatkan, partai-partai Islam dalam Pemilu 1955 hanya mencapai 55% suara, Pemilu 1999 turun menjadi 38%, dan Pemilu 2004 hanya mencapai 36%.

Hasil survei Lembaga Survei Indonesia pada September 2008 mengatakan, hanya sekitar 17% umat Islam Indonesia yang akan memilih partai Islam. Padahal, lebih dari 90% pemilih adalah muslim.

Toh, itu sekadar survey. MS Kaban tetap optimis dengan skenario koalisi. "Koalisi partai Islam adalah sebuah gagasan yang baik. Tapi koalisi ini harus diwujudkan dengan merebut 50 persen dukungan," ujar Ketua Umum DPP PBB usai membuka Workshop Nasional Membangun Bangsa yang Demokratis dan Bermartabat melalui Pemilu 2009 di Jakarta (23/2/2009).

Kaban menjelaskan, dukungan 50 persen tersebut untuk menguatkan kedudukan partai di pemerintahan dan legislatif.

Peluang partai Islam meraih 50% itu masih terbuka. Menurut hasil survey CSIS pada 11-17 Mei 2008, 70% pemilih Indonesia sudah menentukan pilihannya, dan PDI-P merupakan partai politik yang saat ini mempunya dukungan terbanyak (20.3%), diikuti oleh Golkar, PKS, PKB, Partai Demokrat. Masih ada 30% pemilih yang belum mempunyai pilihan partai politik saat ini. Para undecided voters ini tersebar di berbagai lapisan masyarakat, dan sekitar 40% dari mereka mempunyai pilihan yang konsisten dalam pemilu 1999 dan 2004, sementara 60% dari undecided voters adalah swing voters. Ini sesuai dengan temuan CSIS bahwa sekitar 35% pemilih berencana menentukan pilihannya pas di hari pencoblosan.

Menurut jajak pendapat Libang Kompas, pola koalisi partai Islam didukung 57,4% responden. Lebih tinggi lagi untuk pola koalisi partai nasionalis-Islam yaitu 74,9%. Ini bahkan mengalahkan pola koalisi nasionalis yang didukung 71,8% responden.

Menurut rektor Universitas Paramadina, Anis R Baswedan, kategori dikhotomi nasionalis-Islam, sudah tidak relevan. Pasalnya, sebaran politisi muslim juga meliputi partai nasionalis.

Hal itu juga ditegaskan politisi senior PPP, Aisjah Amini. ‘’Partai Islam dengan partai nasionalis, saya kira tidak perlu dibuat dikotomi. Sebab bangsa Indonesia mayoritas umat Islam dan setiap umat Islam pasti nasionalis karena mencintai negaranya,’’ katanya kepada Suara Islam pekan lalu.

‘’Koalisi partai Islam dengan partai nasionalis bisa mendatangkan pemilih paling banyak,’’ tandas Presiden Partai Keadilan Sejahtera Tifatul Sembiring di Medan (14/09/08). Ia menyebut contoh keberhasilan koalisi PKS dan PDI-P pada beberapa pilkada.

Tapi, Kaban mengingatkan, peluang bisa diraih asalkan ada konsistensi dan soliditas partai-partai Islam.
Tanpa soliditas tap partai Islam, suara gabungan partai Islam akan berputar-putar saja diantara mereka. Exit polls yang diadakan LP3ES pada 5 April 2004 menyebutkan, peningkatan suara PKS merupakan hasil migrasi dari suara pemilih berbasis Islam, kecuali PKB. Lalu, Sebanyak 16% PAN dan PPP pada pemilu 1999 berpindah ke PKS. Bahkan menurut survei CSIS, sekitar 22,5% pemilih PAN pada pemilu 2004 akan hijrah ke PKS pada pemilu 2009.

PKS tampaknya menyadari kenyataan itu, sehingga untuk pemilu 2009 partai Islam ini membangun citra yang lebih cair. Sejak heboh musyawarah di Bali yang penuh isyu ‘’keterbukaan’’, PKS kian gencar mencairkan diri seperti lewat iklan bertema ‘’Guru Bangsa’’ pada momentum Kebangkitan Nasional, Partai Kasih Sayang pada momentum Valentine’s Day, dan iklan Partai Kita Semua yang menyasar kaum muda funky.

Sedangkan konsistensi dimaksud adalah pemihakan dan perjuangan aspirasi umat Islam. Tanpa ini, kepercayaan rakyat pada partai politik akan tetap rendah. “Usai Pemilu 2004 terus terjadi penurunan hingga 2007, dari 8% hingga tinggal 5,8%,” ungkap pakar politik UGM Pratikno, mengutip hasil survei Asia Barometer.

Survey Roy Morgan Research pada Juni 2008 menunjukkan: 52% rakyat Indonesia menuntut penerapan syariah Islam. Bahkan hasil penyigian SEM Institute tahun 2008 menyebutkan dukungan umat terhadap penerapan syariah Islam mencapai 83%.

Itu sejalan dengan hasil Survei WorldPublicOpinion.org bekerjasama dengan University of Maryland Amerika di empat negara Islam (Indonesia, Pakistan, Mesir, dan Maroko) pada Desember 2006 hingga Februari 2007. Khusus di Indonesia, survei menunjukkan 53% responden menyetujui pelaksanaan syariah Islam.

Hasil survei Gerakan Mahasiswa Nasionalis di kampus-kampus utama di Indonesia tahun 2006 juga membuktikan, bahwa 80% mahasiswa menginginkan syariah Islam diterapkan.

Sebelumnya, hasil survei PPIM UIN Syarif Hidayatullah tahun 2002 menyebutkan, 67% responden berpendapat yang terbaik buat Indonesia adalah berdasarkan syariah Islam. Survei sebelumnya (2001) pendapat ini dikemukakan 57,8% responden (Tempo, 23-29 Desember 2002).
Tak berlebihan bila bos PBB MS Kaban dengan mantap menyuarakan: ‘’Syariat Islam sah diterapkan di Indonesia.’’

Dengan kecenderungan seperti itu, Ketua DPP Partai Matahari Bangsa, Imam Ad Daruquthni, haqqul yaqin, pada pemilu 2009 suara partai Islam akan mayoritas.

Nah, mengapa selama ini partai-partai Islam tidak pernah memenangi Pemilu?
Jawabannya, menurut Caleg PBB DR Ahmad Sumargono, ada dua kemungkinan. Pertama, hasrat rakyat untuk bersyariah memang tinggi. Tapi, mereka belum melihat adanya partai politik, termasuk partai Islam, yang benar-benar memperjuangan penerapan syariah, sebagaimana yang mereka dambakan.

‘’Kemungkinan kedua, parpol kurang atau malah tidak pernah melakukan pendidikan politik kepada umat,’’ kata Bang Gogon.

Karena itu, salah satu misi yang bakal diemban kemenangan partai Islam adalah mengoreksi total sistem ekonomi nasional yang bermazhab neoliberal. Atau, spiritual kapitalisme alias kapitalisme dengan gincu kedermawanan seperti menjadi tren belakangan ini.

‘’Menurut saya, sistem ekonomi kita keliru,’’ kata Capres Prabowo dalam iklan politiknya.
”Sekarang ini sedang berlangsung ekonomi jual BUMN, ekonomi membanting SDA kontrak karya yang sangat merugikan bangsa, ekonomi yang tunduk kepada IMF, ekonomi yang sudah kehilangan kedaulatan ekonominya dan sebagainya,” ungkap Amien Rais seusai berceramah di Hotel Nikko, Jakarta, belum lama ini.

Karena itu, Amien menegaskan, partai Islam sejak dini harus mampu menawarkan cetak biru ekonomi yang bisa mengakhiri kemerosotan ekonomi Indonesia sekarang ini. Ya, secara parsial, praktik ekonomi syariah memang sudah marak di Tanah Air. Tapi ia belum menjadi sebuah sistem, sehingga masih lebih banyak menjadi ‘’gincu’’ kapitalisme. (nb/mj/www.suara-islam.com)

Tidak ada komentar: