Monday, 06 April 2009
Pemilihan Umum tinggal seminggu lagi, namun umat Islam masih belum bisa menentukan pilihannya. Ketika pamor partai Islam semakin meredup, haruskah ummat memilih sembarangan?
Ingar-bingar terus mewarnai panggung politik tanah air dalam pekan-pekan terakhir ini. Maklumlah, hajatan demokrasi terbesar di negeri ini hanya tinggal sebulan lagi. Spanduk-spanduk warna-warni centang-perenang di jalan. Bendera-bendera partai besar kecil berkelebat riuh merusak keindahan kota. Ratusan baliho segede gajah menutup pemandangan. Album-album foto jalanan menampilkan caleg-caleg narsis yang haus suara. Sementara pepohonan, tiang listrik, tiang telepon dan tugu beton mendadak berbuah pas foto.
Tak cukup sekadar nampang lewat baliho, spanduk dan selebaran, belakangan para elit politik kian rajin terbang wira-wiri ke luar kota. Mendadak mereka jadi getol turun ke bawah, alias turba menurut bahasa Orde Baru. Tiba-tiba mereka jadi ramah dan punya perhatian kepada masyarakat. Bahkan dalam waktu sehari, mereka bisa menclok kota sana, terbang daerah sini, lalu menclok ke wilayah lain lagi tanpa berhenti untuk sekadar ‘menyapa konstituen’. “Ini salah satu tugas kami,” kata Ketua Dewan Pembina Golkar, Surya Paloh.
Temu kader, aksi simpatik, dan penyuluhan kepada masyarakat kini menjadi menu keseharian para petinggi partai politik. Naik turun panggung jualan kecap politik pun menjadi pekerjaan baru mereka. Yang sudah lincah bersilat lidah tentu semakin tampak piawai. Main klaim sudah jadi hobby, sulap data bukan lagi hal tabu, sementara berbohong sudah tak lagi menjadi beban. Lalu bagaimana pekerjaan kantor dan tugas negara? Hhmm… mohon maaf, untuk sementara dilupakan dulu…
Untuk urusan klaim-mengklaim, tengoklah betapa Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Golkar sama-sama mengaku bahwa merekalah yang paling berjasa hingga Indonesia kembali mencapai swasembada pangan. “Swasembada pangan dicapai di masa pemerintahan SBY…” kata Demokrat. Sementara kata PKS, swasembada dicapai karena Anton Apriantono, sang Menteri Pertanian, adalah orang PKS. Adapun Partai Golkar merasa ide dan pemilik lahan yang terus berupaya hingga berhasil meraih swasembada pangan adalah Ketua Umum Partai Golkar, Jusuf Kalla.
Bagi yang baru belajar jualan kecap, keliru ngomong, grogi dan salah tingkah jadi tontonan selingan yang lucu. Alih-alih jualan kecap nomor satu, Ary Mardjono, Sekjen Partai Hanura malah membanting kecapnya di depan publik. Saat berorasi di depan massanya sendiri di lapangan Pulo Mas, Jakarta, ia keseleo lidah. “Salam untuk kader Golkar,” teriaknya kencang. Buru-buru ia mengoreksi kesalahan. Namun semua sudah terlanjur basi. Teriakan huuu dari konstituennya sendiri sempat terlontar…
Pemilu dan Aspirasi Rakyat
Tapi tampaknya, kampanye dan kegiatan politik partai yang ramai itu lagi-lagi hanya sekadar menjadi acara para elit politik. Meski seolah seluruh rakyat ikut terimbas grengseng pemilu, sebenarnya mereka rata-rata hanya ikut arus. Apalagi di kampung dan di desa, di mana pendapatan masyarakat turun drastis, daya beli anjlog, sementara harga-harga membubung tinggi. Iming-iming rupiah dan sembako akhirnya jadi pilihan untuk menyambung hidup. “Saat ini paling mudah mengumpulkan warga desa untuk kampanye,” kata Dr Iman Sugema, ekonom dari Intercafe.
Hanya dengan iming iming duit sepuluh-dua puluh ribu, rakyat mau diajak ikut truk bak terbuka, datang ke kampanye dan berpanas-panas ria. Apalagi jika ada acara bagi-bagi sembako. Mereka akan sangat bersemangat dan datang paling pagi di baris terdepan, bahkan siap rebutan. Lalu, menjelang hari pencoblosan, “serang fajar” biasa digelar. Sambil dibekali sembako, rokok dan amplop berisi uang sepuluh dua puluh ribu, mereka kembali diingatkan untuk mencontreng bapak ini, dibisiki untuk memilih ibu anu, atau mencoblos partai yang itu.
Sebelum hari pencoblosan, rakyat jelata sungguh dimanja. Jika permintaan mereka belum bisa dipenuhi segera, janji muluk pun ditebar. Tengoklah janji-janji kampanye partai, mulai dari pengentasan kemiskinan, perbaikan infrastruktur, sekolah gratis, hingga kemandirian negara. Maklumlah, pilihan mereka memang sangat dibutuhkan, agar sang calon legislatif bisa nangkring di DPR atau di DPRD. Contrengan itu pun sangat diperlukan agar partai mereka tidak terlempar keluar electoral threshold. “Syukur-syukur total suara yang ditangguk lumayan banyak sehingga menarik minat partai lain untuk mengajak koalisi,” kata Arbi Sanit, pengamat politik Universitas Indonesia.
Tapi itu cerita sebelum pemilu. Usai pemilu, lain lagi ceritanya. Rakyat diminta untuk bisa memaklumi. Sebab, para anggota legislatif mulai sibuk dengan urusan rapat-rapat komisi, kunjungan kerja ke daerah hingga melancong ke luar negeri. Partai-partai penguasa maupun oposisi pun sibuk memainkan bandul politik. Untuk urusan pemenuhan janji, lagi-lagi rakyat hanya bisa menunggu dan berharap semoga sang anggota legislatif dan partainya masih ingat pada semua janjinya.
Walhasil, rakyat jelata yang selalu disebut-sebut sebagai sumber kekuasaan dalam sistem demokrasi, pada kenyataannya hanyalah obyek penyerta. Aspirasi yang seharusnya diperhatikan negara dan partai politik, lebih sering terlupakan. Perannya hanya diperhitungkan menjelang dan pada saat pemilu. Habis itu, selesai urusan. Pemenuhan aspirasi rakyat bukan lagi prioritas utama mereka. Semua dilimpahkan kepada penguasa terpilih, sementara partai-partai yang tak kebagian kue kekuasaan kemudian menjadi tukang kompor masyarakat, tapi enggan memperjuangkan sampai titik darah penghabisan.
Di saat-saat seperti ini, tampak jelas betapa konsep massa mengambang yang dirancang Orde Baru untuk memetakan masyarakat dalam sistem demokrasi ala Soeharto terasa sangat jitu dan berhasil, meski tak bisa dikatakan benar. Dengan konsep ini, hubungan antara partai dengan masyarakat hanya terjalin menjelang pemilu. “Usai pemilu, pudar pula hubungan mereka,” kata pengamat politik LIPI Syamsuddin Haris. Seolah urusan kepartaian sudah usai begitu mereka berhasil mengantarkan kader-kader partainya menjadi anggota legislatif, atau di eksekutif.
Dalam sistem politik yang terbangun sejak empat dasa warsa lalu itu, pemahaman umum tentang rakyat juga telah didesain sedemikian rupa, sehingga aspirasi rakyat tidak dihitung secara individu. Rakyat seolah berbentuk jamak, sehingga massa-lah yang dilihat penguasa. Ideologi dan aspirasi individu tidak ada. Yang ada hanyalah aspirasi massa dan golongan. Itu pun aspirasi yang sudah dirancang dan dipaksakan oleh penguasa.
Aspirasi Ummat Islam
Sudah bertahun-tahun pula aspirasi ummat Islam tak pernah diperhatikan dengan baik, meski ummat Islam adalah golongan mayoritas penduduk Indonesia. Kalaupun diperhatikan, umumnya hanya sekitar urusan muamalahnya saja. Jadi, sejak pemilu di jaman Orde Baru, kaum muslimin di Indonesia sudah seperti barang rebutan. Sayang, mereka sudah langsung dilupakan begitu acara hajatan demokrasi selesai. Bahkan tak jarang, mereka semakin ditekan dengan berbagai beleid dan aturan setelah itu.
Karena itu, di tengah semangat yang menggebu dari para elit partai menjelang pemilu, masyarakat kini justru tampak semakin apatis menghadapi perkembangan politik tanah air. “Buat apa sih ada pemilu, kalau keadaan kita tidak juga berubah,” kata Slamet, seorang seorang sopir taksi di Jakarta, pekan lalu. Ia masih ingat betapa Demokrat, partai yang dulu dipilihnya pada Pemilu 2004 ternyata tak mampu memenuhi janjinya ketika itu. “Pendidikan buat anak-anak nyatanya tetap mahal,” ujarnya pula.
Sementara urusan-urusan yang dijanjikan partai-partai politik saja tak segera dilunasi, apalagi urusan yang benar-benar dituntut ummat. Misalnya pembubaran Ahmadiyah, enyahnya NAMRU, hingga pelaksanaan syariat Islam di Indonesia. Bisa dipastikan, selama sistem sekuler liberal masih terus diterapkan di Indonesia, maka aspirasi-aspirasi ummat Islam itu bakal menjadi aspirasi abadi ummat Islam Indonesia.
Partai politik pun kian tak diminati. Selain karena kurang greget dan banyak yang tak punya platform jalas, para pemimpin, dan elit partai mereka pun banyak yang kepentok kasus di berbagai tingkat. Kini berbagai kasus korupsi menimpa puluhan anggota DPR dan DPRD sementara puluhan kasus lain mengintai. Meski sebagian belum berkekuatan hukum tetap hal itu telah memperburuk citra politisi. “Kalau denger berita di televisi, kayaknya pada maling semua, ya,” kata Parman, sopir yang lain.
Jika pamor partai sekuler kian redup, partai Islam pun setali tiga uang. Meski berbagai kasus kriminal yang terungkap tak hanya melibatkan politisi berbasis Islam, namun citra partai Islam langsung tercoreng. Repotnya lagi, perilaku partai Islam justru sering tak berpihak kepada rakyat. Masih terekam di benak ummat, bahwa ketika pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM), partai-partai Islam hanya duduk manis, dan diam tanda setuju.
Konflik internal di tubuh beberapa partai Islam pun semakin membuat masyarakat apatis. Sementara itu, sikap para pemimpin partai itu kadang sangat berlebihan. Saling hujat terjadi sehingga muncul kesan bahwa dalam partai Islam hanya ada saling berebut kekuasaan dan keuntungan pribadi. Sementara itu, para pengamat pun memprediksi bahwa perolehan suara partai Islam, dan partai sekuler berbasis massa Islam dalam pemilu nanti bakal turun. “Partai berbasis Islam sudah tidak diminati lagi,” kata Saiful Mujani, peneliti dari LSI
Lalu Nyontreng Apa Dong?
Melihat kenyataan perpolitikan tanah air yang kurang berpihak kepada ummat Islam ini, maka pertanyaan bakal nyontreng apa pun menjadi sangat relevan. Apalagi semua kondisi buruk ini telah memunculkan apatisme politik yang parah. Bukan tak mungkin jika dalam pemilu sebulan ke depan nanti, jumlah pemilih yang tidak memilih alias golongan putih akan semakin membengkak.
Memang, persoalan memilih atau tidak memilih masih menjadi bahan perdebatan seru. Sebagian ulama mengharamkan ikut terlibat dalam pemilihan umum dalam sistem demokrasi. “Sebab, demokrasi adalah sistem kufur sehingga melaksanakan pernik-perniknya pun haram hukumnya,” kata Ustadz Abu Bakar Baasyir, pengasuh Pesantren Al Mukmin, Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah.
Sementara itu, ulama dan kelompok muslim yang lain menganggap bahwa perjuangan dakwah lewat parlemen adalah langkah yang sah dalam Islam. Meski Demokrasi tidak berasal dari Islam, tapi bisa dimanfaatkan untuk perjuangan Islam. Bahkan memilih untuk tidak memilih alias golput bisa dinilai tidak bertanggung jawab karena akan memunculkan wakil rakyat dan pemimpin negara dari kalangan non muslim dan tidak amanah. “Justru kalau tidak memilih akan merugikan kepentingan ummat,” kata Imam Besar Masjid Istiqlal, KH Ali Mustafa Ya’qub.
Memang, semua masih diliputi pro dan kontra. Jawabannya tergantung dari sisi mana meniliknya. Namun, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menilai, pemilu bulan depan adalah momentum strategis untuk mengubah peri kehidupan berbangsa. Tanpa menyebutkan nama partai tertentu, MUI menyeru masyarakat agar hanya memilih pemimpin yang sesuai dengan syarat ideal Islam. “Sebab, memilih pemimpin yang memenuhi syarat-syarat ideal dalam Islam adalah wajib,” kata Ketua MUI, KH Kholil Ridwan.
MUI juga menyeru kepada pemilih untuk menggunakan hak pilihnya sesuai kemantapan hati, dengan memilih calon legislatif yang beriman, bertaqwa, jujur (siddiq), terpercaya(amanah), aktif, dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan (fathonah), dan mau memperjuangkan kepentingan umat Islam dan bangsa. "Kami mendorong pemilih untuk memilih pemimpin dengan berhati-hati dan selektif, maka haram kalau memilih pemimpin yang diluar syarat-syarat yang ditentukan," kata Ketua MUI KH Makruf Amin.
Himbauam MUI pun segera didukung Forum Ummat Islam. Bahkan ditekankan pula agar ummat Islam memilih pemimpin atau anggota legislatif yang senantiasa memperhatikan aspirasi ummat dan benar-benar memperjuangkan syariat Islam. “Mereka yang layak dipilih adalah mereka yang akan menjadikan DPR sebagai mimbar penegakan syariat Islam secara tegas dan nyata,” kata Sekretaris Jenderal FUI KH Muhammad Al Khaththath.
Jadi, apapun pilihan mereka nanti, ummat harus awas dan waspada dalam memilih calon legislatif dan calon pemimpin. Mereka harus memperhatikan benar, caleg mana yang benar-benar ingin memperjuangkan syariat secara nyata. Jangan sampai mereka memilih calon yang mengaku dari partai Islam tapi ternyata mengusung ide sosialisme, kapitalisme, sekulerisme, dan liberalism.
Tentu saja ummat juga tidak layak memilih calon wakil rakyat dari partai yang konon partai Islam namun jelas-jelas mengatakan bahwa mereka sudah tidak mengusung isu syariat lagi karena isu syariah sudah kuno. Tengoklah ketika Wakil Sekjen PKS Zulkieflimansyah mengatakan, “Bagi kami di PKS, tidak lagi penting bicara tentang negara Islam, syariat Islam. Itu sudah agenda masa lalu lah."
Betapa janggalnya lontaran pemikiran seorang petinggi partai dakwah seperti itu. Bahkan para murabbi jamaah tarbiyah yang membidani lahirnya PKS 10 tahun pun tertegun nyaris tak percaya pada lontaran pendapat ini. Lalu, untuk membangun peradaban di negeri ini, sistem apa yang akan dipakainya? Apakah sistem kafir dan syariat setan? Ataukah mereka sudah merasa cukup dengan sistem buatan manusia yang terbukti tak mampu menyejahterakan dan tidak bisa menenangkan hati ummat seperti ini?
Pendeknya, dalam menentukan pilihan pada pemilu kali ini ummat harus benar-benar waspada. Jika sekiranya masih ada tokoh yang benar-benar memperjuangkan syariat, pilihan harus jatuh ke tangan dia. Tapi jika tidak ada, apa mau dikata, kita harus memilih untuk tidak memilih. Jangan sampai ummat keliru memilih semangka. Di luar kelihatan hijau, sejuk dan Islami, tapi ternyata otak dan kepribadian calon-calon legislatif itu sebenarnya merah, sekuler, dan ternyata tak mau memperjuangkan tegaknya syariat Islam. (Abu Zahra/www.suara-islam.com)
Selasa, 07 April 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
4Shared Mp3
4Shared Music
4Shared
4Shared Ebook
4Shared Games
4Shared Ringtones
Mp3 4Shared
Mediafire Mp3
Games 4Shared
Posting Komentar